Monday, December 7, 2009

Konsep Ekonomi Tentang Nilai Dalam Penilaian Sumber Daya Kawasan dan Lahan

Teori Penilaian Ekonomi Sumberdaya Kawasan dan Lahan

Oleh : Ahmad Arif Maulana (Senior Appraiser – TNR Consultant)

Konsep Ekonomi Tentang Nilai : Pandangan Neoklasik

Nilai ekonomi (economic values) dalam paradigma neoklasik dapat dilihat dari sisi kepuasan konsumen (preferences of consumers) dan keuntungan perusahaan (profit of firms). Dalam hal ini konsep dasar yang digunakan adalah surplus ekonomi (economic surplus) yang diperoleh dari penjumlahan surplus oleh konsumen (consumers surplus; CS) dan surplus oleh produsen (producers surplus; PS) (Grigalunas dan Conger 1995; Freeman III 2003 diacu dalam Adrianto 2005).

Surplus konsumen terjadi apabila jumlah maksimum yang mampu konsumen bayar lebih besar dari jumlah yang secara aktual harus dibayar untuk mendapatkan barang atau jasa. Selisih jumlah tersebut disebut consumers surplus (CS) dan tidak dibayarkan dalam konteks memperoleh barang yang diinginkan. Sementara itu, surplus produser (PS) terjadi ketika jumlah yang diterima oleh produsen lebih besar dari jumlah yang harus dikeluarkan untuk memproduksi sebuah barang atau jasa.

Contoh menghitung CS dalam konteks nilai ekonomi sebuah komoditas dapat dilihat pada ilustrasi berikut ini. Katakanlah anda sedang berjalan dalam keadaan cuaca panas dan anda sudah merasa sangat haus. Kemudian anda melewati sebuah tenda tempat penjualan air mineral dingin dalam kemasan gelas. Jumlah dan harga yang mampu anda bayar (Willingness to Pay; WTP) terhadap setiap unit gelas yang anda akan minum menuruti sebuah pola diminishing return of satisfaction.

Total Willingness to Pay (WTP) dan Consumers Surplus

Jumlah Barang

WTP

Cost

Incremental


Q (Gelas)

(Rp)

(Rp)

CS


1

5,00

1,00

4,00


2

2,00

1,00

1,00


3

1,5

1,00

0,50


Total

8,50

3,00

5,50


Pada gelas pertama, kemampuan anda untuk membeli terletak pada level tertinggi (Rp. 5,00) yang menandakan bahwa anda sangat haus. Apabila harga air mineral lebih dari Rp 5,00 per gelas, maka anda akan mencari penjual lain. Namun apabila harganya kurang dari Rp 5,00 per gelas, maka anda akan membeli gelas air mineral tersebut.

Ternyata harga air mineral yang dijual di tenda tersebut hanya Rp. 1,00 per gelas, sehingga consumer surplus anda untuk gelas ke-1 adalah Rp. 5,00 – Rp. 1,00 atau Rp. 4,00. Semakin banyak gelas yang anda konsumsi, maka rasa haus akan semakin hilang dan kemampuan anda untuk membayar (WTP) air mineral menjadi turun. Dari Tabel 1

dapat dilihat bahwa total WTP adalah Rp. 8,50 sedangkan biaya yang harus dikeluarkan sampai gelas ke-3 adalah Rp. 3,00 (harga air mineral tetap Rp. 1,00 per gelas).

Dengan demikian total consumer surplus anda adalah sebesar Rp. 8,50 – Rp. 3,00 atau Rp. 5,50. Sementara itu, producers surplus terjadi apabila ternyata biaya produksi per gelas air mineral tersebut adalah Rp. 0,25, sedangkan harga jualnya Rp. 1,00 per gelas. Dengan demikian PS dalam konteks contoh di atas (3 gelas) adalah Rp. 3,00 –Rp. 0,75 = Rp. 2,25. Total economic surplus dalam contoh komoditas air mineral gelas adalah CS + PS = 5,50 + 2,25 = 7,25.

Sementara itu, Freeman III (2003) diacu dalam Adrianto (2005) menyebutkan bahwa pengertian “value” dapat dikategorikan ke dalam dua pengertian besar yaitu nilai intrinsik (intrinsic value) –atau sering disebut juga sebagai Kantian value- dan nilai instrumental (instrumental value). Secara garis besar, suatu komoditas memiliki nilai intrinsik apabila komoditas tersebut bernilai di dalam dan untuk komoditas itu sendiri. Artinya, nilainya tidak diperoleh dari pemanfaatan dari komoditas tersebut, tetapi bebas dari penggunaan dan fungsi yang mungkin terkait dengan komoditas lain. Komoditas yang sering disebut memiliki intrinsic value adalah komoditas yang terkait dengan alam (the nature) dan lingkungan (the environments). Sedangkan instrumental value dari sebuah komoditas adalah nilai yang muncul akibat pemanfaatan komoditas tersebut untuk kepentingan tertentu.

Dalam konteks tipologi nilai seperti tersebut di atas, Freeman III (2003) diacu dalam Adrianto (2005) berargumentasi bahwa konsepsi instrumental value lebih mampu menjawab persoalan yang terkait dengan pengelolaan lingkungan, termasuk dalam hal ini pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan laut, daripada konsepsi instrinsic value. Untuk mengetahui nilai instrumental dari alam, tujuan spesifik dari upaya tersebut harus disusun. Dalam konteks ini, nilai ekonomi sumberdaya alam (the value of nature) lebih condong pada konsepsi tujuan untuk kesejahteraan manusia (human welfare). Dengan kata lain, sebuah komponen alam akan bernilai tinggi apabila kontribusinya terhadap kesejahteraan manusia juga tinggi. Sebuah pemikiran antroposentris yang memang melekat erat dengan disiplin ilmu ekonomi ortodoks. Konsep-konsep seperti individual welfare, individual preferences, dan lain-lain menjadi komponen utama bagi penyusunan konsep nilai ekonomi ini, seperti yang telah dijelaskan melalui konsep CS dan PS di atas.

No comments: