Sunday, May 27, 2007

Penghimpunan Dana di Bank

Penghimpunan Dana di Bank

Sektor perbankan sepertinya tidak pernah lepas dari berita heboh, mulai dari bermunculannya banyak regulasi, likuiditas yang melimpah, penutupan bank, pembobolan bank, kredit yang sulit tersalurkan, hingga masalah penurunan suku bunga dana।

Di tengah-tengah berita heboh itu ada salah satu fenomena pada industri perbankan yang juga menarik untuk disimak, yaitu kembali meningkatnya posisi penghimpunan dana masyarakat (biasa disebut dana pihak ketiga/DPK) pada bulan Mei 2004, setelah sebelumnya selalu menunjukkan tren menurun।

Hal itu menjadi fenomena menarik, karena fenomena tersebut terjadi justru ketika perbankan dalam kondisi kelebihan likuiditas dan kesulitan menyalurkan kredit ke sektor riil. Pertanyaannya adalah bukankah likuiditas yang terus bertambah tanpa adanya penempatan yang pasti akan makin memusingkan para pengelola bank

Kenaikan posisi DPK ini juga bisa dianggap aneh karena praktis tidak ada peningkatan suku bunga di perbankan secara signifikan। Tingkat suku bunga deposito, giro, ataupun tabungan bisa dikatakan stabil. Kalaupun ada kenaikan, itu hanya terjadi di bank-bank beraset kecil akibat naiknya suku bunga penjaminan. Suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sebagai induk suku bunga di dalam negeri pun relatif stabil setelah terus turun sejak awal tahun 2003. Selama periode April-Mei 2004, suku bunga SBI berjangka satu bulan 7,32-7,34 persen.

Berdasarkan kondisi tersebut, bisa dikatakan perbankan belum memiliki keunggulan dari sisi suku bunga yang dapat membuat investor tertarik mengalihkan dananya dari obligasi, saham, reksa dana, atau portofolio investasi lain ke dalam deposito, giro, atau tabungan। Lalu apa yang menyebabkan posisi DPK naik?

Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), posisi DPK per Mei 2004 senilai Rp 897,815 triliun, naik 2,6 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang sebesar Rp 875,281 triliun. Pada bulan Desember 2003 posisi DPK mencapai level tertinggi Rp 902,325 triliun, tetapi pada bulan-bulan berikutnya posisinya terus menurun.
Semua jenis DPK, seperti giro, tabungan, dan deposito berjangka menunjukkan tren meningkat। Peningkatan terbesar terjadi pada giro yang mencapai 8,8 persen menjadi Rp 236,9 triliun dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang sebesar Rp 217,97 triliun. Tabungan menjadi sebesar Rp 255,11 triliun, meningkat 1,3 persen daripada bulan sebelumnya yang sebesar Rp 251,87 triliun. Adapun deposito berjangka relatif stabil, dari Rp 405,44 triliun pada bulan April menjadi Rp 405,72 triliun pada Mei 2004.

Menilik ke belakang, penurunan posisi DPK sepanjang periode Desember 2003 sampai April 2004 dipicu oleh anjloknya simpanan dalam deposito berjangka। Penurunan simpanan dalam deposito berjangka sendiri sebenarnya sudah berlangsung lama, sejak mulai maraknya industri reksa dana yang memberikan imbal hasil (yield) yang lebih menarik, yang bisa berselisih empat persen dengan suku bunga deposito. Kala itu banyak dana di deposito yang dialihkan ke reksa dana oleh pemiliknya. Perbankan tidak mempermasalahkan hal ini, bahkan manajemen perbankan menjalin kerja sama dengan manajer investasi dalam memasarkan produk reksa dana.

Simpanan dalam deposito berjangka pun makin menurun ketika BI mulai menurunkan tingkat suku bunga SBI secara konsisten dalam setiap lelang। Penurunan suku bunga SBI memicu penurunan suku bunga penjaminan dan akhirnya menyeret jatuhnya suku bunga deposito perbankan.

Namun, pada Mei 2004 tren penurunan DPK terhenti. Kenaikan yang terjadi memang tidak signifikan, hanya sekitar Rp 22 triliun. Tetap saja hal itu menunjukkan fenomena yang menarik.
Ada sejumlah faktor yang bisa dijadikan penyebab naiknya posisi DPK। Direktur Institute for Development Economics and Finance (Indef) Dradjad H Wibowo mengatakan peningkatan DPK terjadi karena munculnya sentimen kenaikan suku bunga di dalam negeri, dipicu isu naiknya suku bunga Bank Sentral AS (The Fed). Sejak Gubernur The Fed Alan Greenspan memberikan sinyal bakal menaikkan suku bunga pada pertengahan April 2004 akibat tekanan inflasi, pasar global, termasuk di Indonesia, langsung merespons. Secara hitungan, kenaikan suku bunga The Fed sudah pasti akan mengerek juga suku bunga negara lain untuk tetap menjaga imbal hasil di negara bersangkutan tetap menarik. Jika tidak dikompensasi, dengan cara seperti itu dikhawatirkan investor akan melarikan dananya ke luar negeri untuk ditempatkan dalam dollar AS. Faktanya, respons kemungkinan naiknya suku bunga The Fed terjadi dengan cepat di Indonesia. Nilai tukar rupiah langsung melemah.

Selain menukarkan dananya ke dollar AS, antisipasi kenaikan suku bunga The Fed juga dilakukan dengan mengalihkan investasi dari portofolio lain ke sistem perbankan, seperti giro, tabungan, dan deposito berjangka. Para investor ini berharap begitu suku bunga The Fed naik, suku bunga perbankan juga naik sehingga mereka bisa memperoleh manfaat yang lebih tinggi.
Harapan para investor memang terkabul। Pada bulan Mei BI menaikkan tingkat suku bunga penjaminan. Contoh, untuk suku bunga penjaminan jangka satu bulan ditetapkan sebesar 7,25 persen, naik 114 basis poin dibandingkan bulan April yang sebesar 6,11 persen. Akibat naiknya suku bunga penjaminan, sejumlah bank akhirnya menaikkan suku bunga deposito berjangka dan tabungannya.

Pada bulan Mei rata-rata suku bunga deposito berjangka satu bulan sebesar 5,84 persen, naik dibandingkan rata-rata bulan April yang sebesar 5,62 persen। Namun sayangnya, kenaikan suku bunga deposito hanya dilakukan bank-bank beraset kecil. Adapun bank-bank besar, seperti Bank Mandiri, BCA, Bank BNI, dan BRI, tetap mempertahankan suku bunga depositonya. Alasannya, mereka sedang dalam kondisi kelebihan likuiditas sebagai akibat kredit ke sektor riil berjalan lamban.

Padahal, salah satu tujuan bank menaikkan suku bunga adalah untuk menyerap likuiditas। Mereka juga khawatir kenaikan suku bunga dana akan ikut menaikkan suku bunga kredit. "Buat apa kami menaikkan suku bunga deposito kalau likuiditas kami masih berlimpah," kata Direktur Utama Bank Mandiri ECW Neloe.

Kendati menaikkan suku bunga penjaminan, BI masih bisa mempertahankan suku bunga SBI tetap stabil। Bahkan, sepanjang bulan Mei SBI satu bulan malah turun satu basis poin menjadi 7,32 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Hal itu bisa dilakukan BI karena tertolong oleh kondisi perbankan yang kelebihan likuiditas. Tanpa menaikkan suku bunga SBI, BI sudah dapat menyerap likuiditas sesuai target.

Namun, akibat isu kenaikan suku bunga AS, tren penurunan suku bunga SBI memang sedikit tertahan. Suku bunga SBI yang sebelumnya terus menurun secara gradual dengan interval di atas 10 basis poin mulai stabil dengan fluktuasi di bawah lima basis poin.
ADITYA Wardhana, Analis Senior Trimegah Securities menjelaskan kenaikan posisi dana pihak ketiga juga tidak terlepas dari peran industri reksa dana. Seiring meningkatnya ketidakpastian kondisi politik keamanan selama Pemilu 2004 dan isu kenaikan suku bunga, investor reksa dana banyak yang memilih menempatkan dananya ke dalam reksa dana pasar uang yang berbasis deposito berjangka dan obligasi jangka pendek.
Padahal sebelumnya, investor lebih suka menanamkan dananya di reksa dana pendapatan tetap yang berbasis obligasi pemerintah। Dengan memilih reksa dana pasar uang, investor berharap investasi mereka lebih aman dan lebih likuid.

Dia juga mengatakan, setelah bertumbuh secara fenomenal dalam dua tahun terakhir, pertumbuhan reksa dana sekarang sudah melambat, bahkan bisa dibilang jenuh। Reksa dana diperkirakan sulit berkembang lebih jauh lagi karena suplai emisinya, seperti obligasi, semakin terbatas. Inilah yang membuat dana kembali masuk ke perbankan. Sampai 5 Agustus 2004 dana kelolaan reksa dana mencapai Rp 90,2 triliun dengan komposisi reksa dana pendapatan tetap Rp 75,1 triliun, saham Rp 783 miliar, campuran sebesar Rp 2,18 triliun, dan pasar uang Rp 12,17 triliun.

Ditambahkannya, peningkatan posisi DPK juga merupakan efek domino dari masuknya pendapatan bunga seluruh portofolio investasi, seperti obligasi ke dalam sistem perbankan.
Fenomena yang sama juga berlaku pada industri asuransi। Wakil Presiden Direktur PT Panin Life Tri Djoko Santoso mengatakan, munculnya ekspektasi naiknya suku bunga deposito dan SBI akibat kenaikan suku bunga Bank Sentral AS sehingga membuat asuransi mulai kembali menempatkan dana investasinya ke deposito dan SBI.

Kondisi itu sekaligus mengakhiri tren pengalihan portofolio investasi asuransi dari deposito ke obligasi dan reksa dana yang terus berlangsung dalam beberapa tahun terakhir, sejak suku bunga deposito terus menurun। Pada akhir 2003 komposisi portofolio utama industri asuransi adalah obligasi korporasi sebesar Rp 6,26 triliun, obligasi negara sebesar Rp 5,73 triliun, dan deposito berjangka sebesar Rp 4,53 triliun.

"Dalam beberapa bulan terakhir, sejak pemilu legislatif berlangsung, industri asuransi memang mulai mengalihkan kembali investasinya ke pasar uang, seperti deposito dan SBI, karena dianggap lebih aman dan likuiditasnya tinggi। Ini juga cerminan sikap wait and see hingga pemilu berakhir dan terbentuk pemerintahan baru," katanya.

Pengamat perbankan Ryan Kiryanto mengatakan, kenaikan posisi DPK juga dipicu oleh ketidakpastian situasi politik dan keamanan selama pemilu Presiden। "Dalam situasi sekarang, investor cenderung mencari portofolio investasi yang aman dan likuid, seperti deposito," kata Ryan.

Direktur Utama Bank Niaga Peter B Stok mengatakan, kenaikan posisi DPK terjadi karena perbankan semakin kreatif meluncurkan produk, terutama tabungan dan giro। Hal itu tercermin dari pertumbuhan keduanya yang lebih tinggi ketimbang deposito berjangka. Bank lebih menggenjot produk tabungan dan giro karena keduanya termasuk jenis dana murah, dalam artian bunga yang harus dibayar ke nasabah lebih rendah dibandingkan dengan deposito. Dengan porsi dana murah yang semakin banyak, pendapatan bunga bersih bank akan meningkat.

Dia juga mengatakan, meskipun perbankan umumnya masih kelebihan likuiditas, bank masih berupaya untuk menghimpun dana sebanyak- banyaknya। Meskipun belum bisa dikucurkan sebagai kredit, bank tetap memiliki kemampuan untuk menginvestasikan dana tersebut sehingga tetap bisa menghasilkan keuntungan.

Menurut Direktur Utama BRI Rudjito, kenaikan posisi DPK sangat ditentukan oleh suku bunga deposito berjangka dan simpanan lainnya. Kalau suku bunga perbankan naik, tentu investor akan beralih ke perbankan dan sebaliknya. Dia juga mengatakan, pihaknya tidak mempermasalahkan DPK yang terus meningkat. Sebab, selain dalam bentuk kredit, kelebihan likuiditas juga bisa disalurkan ke SBI, Fasilitas Simpanan BI (Fasbi), atau obligasi.Kendati demikian, Ryan memprediksi tren peningkatan DPK hanya sementara. Setelah pemilu presiden usai dan suku bunga The Fed naik, investor akan menarik kembali sebagian dananya dari perbankan untuk ditanamkan pada instrumen investasi lain yang lebih menarik.