Monday, December 7, 2009

Evaluasi Proyek, Pengertian dan Cara Menganalisis

"EVALUASI PROYEK, PENGERTIAN DAN CARA MENGANALISIS"

Oleh : Ahmad Arif Maulana (Senior Appraiser – TNR Consultant)

"Evaluasi proyek, Pengertian dan Cara Menganalisis" sebagian besar bersumber dari buku "Pengantar Evaluasi Proyek" Lembaga Penerbit FEUI 1978, merupakan bahan bacaan utama pada kursus Analisis Proyek Pertanian dan Industri Pertanian (Agriculture and Agro Industry Project Course), Program Perencanaan Nasional – Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia bekerjasama dengan Economic Development Institute of the World Bank tahun 1981.

Semoga apa yang disajikan ini masih relevan dan dapat bermanfaat.

PENGERTIAN PROYEK

Suatu aktivitas dimana dikeluarkan uang dengan harapan untuk mendapatkan hasil (returns) diwaktu yang akan datang, yang direncanakan, dibiayai dan dilaksanakan sebagai salah satu unit dimana biaya maupun hasilnya dapat diukur.

Proyek atau kegiatan proyek dapat dibagi atas 2 (dua) tujuan yaitu :

  1. Komersil

Bertujuan komersil (mendapat untung) langsung dalam bentuk uang, ialah kegiatan dibidang produksi misalnya pertanian, perkebunan, industri dan sebagainya.

  1. Tidak Komersil

Tidak komersil ialah kegiatan dibidang kepentingan umum seperti pengadaan prasarana fisik seperti Waduk, Jalan, dan sebagainya.

EVALUASI PROYEK

Bertujuan untuk memperbaiki pemilihan investasi. Karena sumber-sumber yang tersedia bagi pembangunan adalah terbatas, sehingga diperlukan sekali adanya pemilihan antara berbagai macam proyek.

Evaluasi proyek menekankan pada 2 (dua) macam analisis yaitu :

  1. Analisis Finansil

Apabila proyek dilihat dari sudut badan atau orang yang menanam modalnya didalam proyek atau yang berkepentingan langsung dalam proyek.

Dalam analisis ini sangat diperhatikan hasil untuk modal saham (Equity Capital) yang ditanam dalam proyek yaitu hasil yang harus diterima oleh para petani, pengusaha swasta, badan usaha pemerintah atau siapa saja yang berkepentingan dalam pembangunan proyek. Hasil finansil ini sering disebut "PRIVATE RETURNS"

  1. Analisis Ekonomis

Dimana proyek dilihat dari segi perekonomian secara keseluruhan. Dalam analisa ekonomi yang diperhatikan ialah hasil keseluruhan berupa produktivitas atau keuntungan yang diperoleh dari semua sumber yang dipakai dalam proyek untuk masyarakat, atau perekonomian secara menyeluruh tanpa melihat siapa yang menyediakan sumber-sumber tersebut dan siapa dalam masyarakat yang menerima hasil dari proyek tersebut. Hasil ekonomi ini disebut "The Social Returns" atau "The Economic Returns".

Beberapa unsur yang berlainan penilaiannya dalam kedua macam analisis tersebut ialah :

  1. Harga

Dalam analisa finansil selalu dipakai harga pasar (market price), sedangkan dalam analisis ekonomis digunakan harga bayangan (shadow price) atau disebut juga "accounting prices" yang menggambarkan nilai sosial atau nilai ekonomis yang sesungguhnya (the true social of economic value) daripada unsur-unsur biaya maupun hasil/manfaat

  1. Pembayaran Transfer
  1. Pajak

Dalam analisa ekonomis, pajak tidak dikurangi dalam perhitungan benefit daripada proyek. Pajak adalah bagian daripada hasil bersih proyek yang diserahkan kepada pemerintah untuk digunakan bagi masyarakat sebagai keseluruhan, karenanya tidak dianggap biaya.

  1. Subsidi

Subsidi sesungguhnya adalah suatu transfer payment dari masyarakat kepada proyek sehingga dalam analisa :

- Finansil : mengurangi biaya proyek, jadi menambah benefit.

- Ekonomis : harga pasar harus disesuaikan untuk menghilangkan efek dari subsidi. Jika subsidi menurunkan harga barang input, maka besarnya subsidi harus ditambahkan pada harga barang input tersebut.

  1. Bunga

Analisis Ekonomi

Bunga modal tidak dipisahkan/dikurangi dari hasil bruto. Kecuali Social opportunity Cost of Capital (OCC) dari investasi tersebut dianggap terdiri dari arus pelunasan hutang + bunganya maka diperhitungkan sebagai biaya (dikurangkan dari hasil bruto)

Analisis Finansil

    • Bunga yang dibayarkan kepada orang-orang luar yang meminjamkan kepada proyek dan dianggap cost sehingga dikurangkan dari hasil bruto sebelum diperoleh arus benefit.
    • Bunga tidak dianggap sebagai biaya, karena bunga merupakan bagian dari financial returns yang diterima modal proyek.

Pengaruh Inflasi terhadap Benefit dan Biaya

Laju inflasi akan menyebabkan semakin besarnya ukuran benefits yang dinyatakan dalam uang atas harga dasar yang berlaku, dipihak lain terjadi pula dalam biaya. Pada hal tujuan dasar dari evaluasi proyek ialah menentukan bagaimana cara menggunakan sumber-sumber yang ada demi memaksimumkan kenikmatan masyarakat terhadap barang dan jasa yang riil dalam waktu mendatang. Jadi baik arus benefit maupun biaya hendaknya diukur atas dasar tingkat harga umum yang berlaku tetap pada waktu diambil keputusan tentang dilaksanakannya proyek. Cuma seberapa jauh diduga bahwa perkembangan harga pada unsur benefit atau biaya tertentu akan menyimpang dari laju kenaikan harga umum, sehingga pengukuran terhadap unsur-unsur tersebut hendaknya memperhitungkan penyimpangan tersebut.

Kriteria Investasi

Untuk mendapatkan gambaran-gambaran yang rasional dari sesuatu proyek untuk diputuskan dapat atau tidaknya dibiayai dalam program, telah dikembangkan berbagai macam indeks. Indeks-indeks tersebut disebut Kriteria Investasi.

Jenis kriteria investasi tersebut adalah :

  1. Net Present Value (NPV)
  2. Internal Rate of Return (IRR)
  3. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C)
  4. Gross Benefit Cost Ratio (Gross B/C)
  5. Profitability Ratio (PR = PV’/K)

Namun yang akan penulis kemukakan disini terbatas hanya cara menghitung Internal Rate of Return (IRR)

Internal Rate of Return (IRR)

IRR dapat dianggap tingkat keuntungan (Pengembalian hasil investasi)1) bersih dari se-suatu proyek asalkan setiap benefit bersih dari sesuatu proyek asalkan setiap benefit bersih (Bt-Ct) yang positif secara otomatis ditanam kembali dalam tahun berikutnya. IRR adalah nilai discount rate i yang membuat NPV daripada proyek sama dengan 0 (Nol)

Formula matematisnya :

n Bt - Ct


NPV = å = 0

t=1 t

(1+IRR)

1) Little and Mirrless dalam bukunya "Project Appraisal and Planning for Developing Countries" hal. 13, mengartikan Internal Rate of Return sebagai Yield (produktivitas) daripada proyek.

Adalah sangat kebetulan apabila kita mendapatkan angka IRR dengan mendiscount arus Benefit dan arus Cost2) langsung memberikan hasil pengurangan = 0

Karena itu ditempuh cara coba-coba dengan mengadakan perhitungan 2 (dua) kali dimana hasil NPV percobaan pertama adalah (+) dan percobaan kedua adalah (-) atau sebaliknya. Dengan formula matematis berikut ini kita peroleh angka IRR nya.

NPV’


IRR = i’ + ( i" – i’ )

(NPV’-NPV")

dimana i’ = Discount rate yang digunakan pada percobaan pertama

i" = Discount rate yang digunakan pada percobaan kedua

NPV’ = NPV pada percobaan pertama

NPV" = NPV pada percobaan kedua

Jika ternyata IRR dari sesuatu proyek sama dengan nilai i yang berlaku sebagai Social Discount Rate, maka NPV daripada proyek itu adalah sebesar 0. Jika IRR <>³ ) dengan Social Discount Rate, menyatakan tanda Go untuk proyek, sedangkan IRR kurang dari Social Discount Discount Ratenya memberikan tanda No Go.

Penetapan Discount Rate untuk Present Value

Disebabkan antara lain penggunaan modal yang belum berdaya guna (efisien), sedangkan di masyarakat berlaku tingkat bunga yang berbeda-beda dipasaran modal bebas.

Dalam memilih tingkat discount rate ialah, berapakah tingkat keuntungan yang diharapkan andaikata sumber-sumber yang diperlukan untuk sedang dinilai tidak jadi dipakai, melainkan dipakai pada kesempatan investasi yang lain. Hal ini menyebabkan tingkat opportunity cost of capital yang berlaku untuk masing-masing penanam modal/proyek tidak seragam. Social Opportunity cost of capital biasanya dianggap sama dengan tingkat keuntungan social yang dihasilkan proyek yang terdapat pada batas (margin) dalam rangka penentuan susunan anggaran pembangunan negara.

Tidak seragamnya social opportunity cost of capital yang disebabkan juga antara lain perkembangan ekonomi daerah yang berbeda, oleh karena itu Enex Consortium 346 yang menjadi konsultan Ditjen Bina Marga (cq Bagpro Studi Kelayakan Jalan dan Jembatan, Dit Bipran) dalam mengevaluasi kelayakan usulan peningkatan jalan seluruh Indnesia pada tahun 1976-1979 menggunakan Tentative Incremental IRR Threshold per Propinsi3) yang besarnya antara 15,0% - 25,0% sebagai berikut :


2) Dalam evaluasi proyek dibidang industri, dikenal istilah K = Kapital (Modal/investasi awal) proyek dan C = Cost yang merupakan biaya Operasi. Sedangkan dalam proyek Jalan, dikenal istilah C = Construction Cost dan C’ (RMC) = Road Maintenance Cost.

3) Economic and social Analysis "methodology Statement" halaman 1/10, Enex Consortium 346, 1977.

  • 15,0% (DI Aceh, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bengkulu, seluruh Kalimantan, seluruh Sulawesi dan seluruh Nusa Tenggara)
  • 20,0% (Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Timur dan Bali)
  • 25,0% (Jawa Barat, Jawa Tengah dan DI Yogyakarta)

Misalnya hasil perhitungan IRR di Jawa Barat sebesar 20,0% maka usulan tersebut dinilai tidak layak, karena IRR threshold Jawa Barat sebesar 25,0%. Hasil perhitungan Computer menggunakan Genmerri4) pada tahun 1978 menunjukkan IRR = 150,10% (Cileunji-Sumedang/2202001) IRR = 126,63% (Sumedang-Cijelag/2202101) dan IRR = 52,83% (Cijelag-Kadipaten/2202201), jadi sangat layak pada Improvement Option berupa pelebaran bahu jalan

Shadow Price (Harga Bayangan)

Shadow prices atau accounting prices dapat dikatakan sebagai semacam penyesuaian yang dibuat oleh penilai proyek terhadap harga pasar daripada beberapa faktor produksi, karena harga pasar produksi tersebut tidak mencerminkan nilai sosial yang sebenarnya (Social opportunity cost) dari unsur produksi tersebut. Tiga komponen analisa yang sering dipakai dalam evaluasi proyek yang dicari/ditentukan harga banyangan-nya :

  1. Modal

Pemerintah seringkali beranggapan bahwa salah satu hambatan utama suatu pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat adalah kekurangan dana investasi yang diakibatkan oleh biaya modal (cost of capital), yaitu tingkat bunga yang terlalu tinggi. Hal yang sering dilupakan ialah bahwa usaha menggairahkan masyarakat untuk suka menabung perlu disertai rangsangan kepada sipenabung untuk memperoleh sejumlah keuntungan riil atas dananya yaitu suku bunga yang dapat :

  1. menutupi kemerosotan nilai-nilai yang disebabkan oleh inflasi
  2. mengimbangi tingkat "time preference" yaitu keadaan dimana orang lebih senang menikmati pendapatannya sekarang daripada menangguhkannya.

Karena itu pemerintah seringkali mengatur tingkat bunga resmi (terutama perbankan) atas deposito para nasabahnya pada suatu tingkat tertentu.

  1. Tenaga Kerja Tak Terdidik

Sama dengan modal, ketentuan umum tentang penerapan gagasan upah bayangan (shadow wages) di Indonesia belum dikeluarkan oleh Pemerintah. Secara insidentil pernah diadakan pada evaluasi proyek irigasi Pemali-Comal (Studi Case No. 4 Mears-Djarot PPN - UI 1974), dimana upah buruh yang berasal dari buruh panen upahan dinilai = 0 (nol)

Begitu pula dalam evaluasi proyek pengembangan pabrik gula Jati Tujuh Jatibarang, upah buruh penebang tebu yang berasal dari sekitar proyek yang tadinya penganggur/setengah penganggur dinilai = 0 (nol). Proyek Pengembangan pabrik gula Jati Tujuh merupakan salah satu tempat praktek kerja lapangan peserta kursus tahun 1981.


4) Genmerri (Generalized Model for the Evaluation of Reval Road Improvement), WD. Scott & Co Pty Ltd, 1976.

Dasar pemikirannya ialah bahwa seberapa jauh pemindahan tenaga kerja baru, mengurangi produksi dalam kegiatan terdahulu (jadi buruh yang dialihkan itu tidak sepenuhnya diganti dengan tenaga yang dipakai sebagai ukuran tentang besarnya upah buruh tersebut).

Prof. Arnold C Harberger seorang ekonom ahli evaluasi proyek, menganggap bahwa social opportunity cost daripada upah terendah dari buruh adalah upah terendah yang memberikan imbalan yang cukup sehingga buruh tersebut bersedia mengorbankan waktu senggangnya dengan bekerja.

  1. Devisa

Social opportunity cost daripada devisa yang dikeluarkan dalam rangka melaksanakan suatu proyek dianggap sebagai nilai sumber dalam negeri (Domestic Resources Cost) yang harus diolah demi membeli atau langsung menyediakan suatu sarana yang bersifat tradeable (dapat diperdagangkan), untuk dipergunakan diproyek tersebut. Penggunaan sumber-sumber tersebut dapat berupa :

  1. Produksi untuk menunjang export yang pendapatan devisanya untuk pembeli sarana import.
  2. Produksi pengganti import (import substitution) yang menghasilkan sarana tersebut secara langsung, atau melalui penghematan devisa yang digunakan untuk membeli sarana import.

Berdasarkan metode social opportunity cost, ukuran diatas biasanya kurang dari tingkat batas guna (marginal utility) sebab batas guna dari konsumsi barang yang dapat diperdagangkan sama dengan batas sumber-sumber dalam negeri untuk menghasilkan barang pengganti import. Hal ini disebabkan karena kedua-duanya ditentukan oleh nilai tukar resmi (official rate) + nilai proteksi seperti : bea masuk, pembatasan kuota import dan sebagainya. Padahal biaya marginal untuk memperoleh maupun menghemat devisa merupakan nilai-nilai rata-rata tertimbang sumber-sumber dalam negeri marginal untuk menghasilkan kedua golongan barang tadi (barang export maupun barang pengganti import).

Kenyataannya bahwa (bahan tulisan ini diterbitkan tahun 1978) dalam rangka evaluasi proyek oleh instansi pemerintah maupun oleh konsultan swasta, tidak menggunakan Nilai Tukar Bayangan (Shadow exchange rate). Dengan kata lain Nilai Tukar Resmi yang berlaku dianggap mengukur social opportunity cost barang dan jasa yang bersifat dapat diperdagangkan berdasarkan harga perbatasan (border prices) nya.

Negara yang paling memerlukan Nilai Tukar bayangan yang lebih tinggi dari nilai tukar resmi adalah negara yang neraca pembayarannya mengalami tekanan berat5) , karena nilai tukar resmi terlampau rendah untuk menyeimbangkan penawaran dan permintaan dalam pasar devisa. Selain itu diasumsikan bahwa terdapat hambatan kelembagaan yang menghindari penentuan suatu nilai tukar yang mampu menertibkan pasarnya.


5) Neraca pembayaran mengalami tekanan berat, apabila Neraca Pos-pos berjalan (Perdagangan, Jasa dan hasil Investasi/sumbangan) mengalami defisit sehingga perlu ditutup oleh Gerakan Modal dan Gerakan Mas Moneter (Pinjaman jangka Pendek/Panjang dan Import Mas, artinya menambah Utang Luar Negeri).

Dengan menekan tindakan-tindakan pada usaha menanggulangi keadaan neraca pembayaran tersebut yaitu berupa investasi dalam kegiatan yang menunjang export maupun produksi pengganti import maka pemerintah secara bertahap mulai menerapkan suatu nilai tukar bayangan.

Selain daripada keadaan neraca yang demikian maka faktor inflasipun peranannya sangat besar dalam menentukan nilai tukar bayangan. Sebagai contoh dapat dikemukakan berikut ini. Umpamanya pada tahun 1980 nilai tukar x rupiah per dollar merupakan tingkat keseimbangan. Maka pada tahun 1983 dimana tingkat harga umumnya telah meningkat dengan y persen sedangkan lagi inflasi dipasar dunia (khususnya sehubungan dengan jenis barang dan jasa yang diperdagangkan di Indonesia) hanya sebesar Z persen (Z

100 + Z


x saja --

100 + Y

Tampaknya nilai Z dan Y untuk masa tiga tahun belakangan ini masing-masing sebesar 40% dan 120%. Jadi :

100 + Z 140



= = 0,65

100 + Y 220

Jadi nilai tukar yang secara nominal sebesar Rp. 630,- sekarang hanya bernilai Rp. 410,- atas dasar harga yang berlaku tahun 1980. Atau dilihat dari sudut besarnya nilai tukar nominal 1983 yang diperlukan untuk mempertahankan nilai tukar riil yang berlaku tahun 1980 dahulu maka nilai itu sama dengan hasil perkalian 0,65 tadi dengan Rp.630,- = 1/0,65 x 630 = Rp. 969,-

Penjelasan mengenai cara meng-shadow dapat dilihat pada Bagan Alir dihalaman akhir tulisan ini.

Economic Cost

Apa yang dikenal sebagai Economic cost, sebenarnya dalam pengertiannya Ilmu Evaluasi Proyek lebih dikenal dengan nama Harga bayangan (Shadow Prices), karena analisis proyek jalan merupakan analisis ekonomis.

Untuk mengetahui perbedaan dengan penggunaan istilah tersebut dalam Teori Ekonomi, baiklah pada kesempatan ini diketengahkan pengertian Economic Cost tersebut.

Campbell6) memberi definisi :

Economic costs have to do with missed opportunities or foregone alternative (Biaya Ekonomi, berhubungan dengan kesempatan-kesempatan atau alternatif yang hilang).


6) Campbell MC Donnel R., "Economic" Sixth edition, Principles, Problem and Policies. Mc Graw Hill Book Company 1975. Hal 497/498

Pengertian yang dikemukakan Campbell diatas tiada lain adalah alternative costs atau lazim disebut opportunity cost.

Ferguson7) memperkuat pengertian tersebut dengan definisi sebagai berikut :

Biaya alternatif atau opportunity cost untuk memproduksi satu unit barang x adalah jumlah barang Y yang harus dikorbankan, agar dengan demikian dapat dipergunakan sumber-sumber tersebut untuk memproduksi barang x. Hal tersebut merupakan biaya social memproduksi barang x

Suryatin dan kawan-kawan8), memberikan definisi :

Economic costs ialah jumlah biaya yang telah dikeluarkan total overheadnya yaitu antara lain overhead firm, pajak-pajak, keuntungan-keuntungan dan pengeluaran-pengeluarannya yang sejenis.

Residual Value (Nilai Sisa)

Residual (Salvage) Value adalah suatu nilai dari pada kekayaan proyek. Residual value dapat dihitung sebagai benefit dan ditambah pada benefit biasa diakhir tahun proyek, atau dapat dihitung sebagai penurunan biaya (biaya negatif) pada saat terakhir. Dalam buku Economic Analysis of Agriculture Projects begitu pula dalam Dasar-dasar Evaluasi Proyek9), Residual Value di-discount pada akhir tahun analisis.

Analisa Sensitivitas

Analisis sensitifitas bertujuan untuk melihat apa yang akan terjadi dengan hasil analisis proyek jika ada sesuatu kesalahan atau perubahan dalam dasar-dasar perhitungan biaya atau benefit.

Dalam analisis sensitivitas setiap kemungkinan itu harus dicoba yang berarti bahwa tiap kali harus diadakan analisa kembali. Ini perlu sekali, karena analisa proyek didasarkan pada proyeksi-proyeksi yang mengandung banyak ketidak pastian tentang apa-apa yang akan terjadi diwaktu yang akan datang.

Ada 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan ialah :

  1. Terdapat "Cost Overrun" misalnya kenaikan dalam biaya konstruksi.
  2. Perubahan dalam perbandingan harga terhadap tingkat harga umum, misalnya penurunan harga hasil produksi.
  3. Mundurnya waktu pelaksanaan (time overrun)

Untuk lebih jelasnya, cara perhitungan IRR tersebut diatas, dapat dilihat pada tabel I


7) Ferguson, C.E. "Micro Economic Theory" Disadur oleh Drs. E.C. Winardi. Penerbit Tarsito Bandung, 1975 hal. 90/91 (Buku ke 2)

8) Suryatin, Rachmadi, Soehartono dan Budihardjo "Analisa Cost Benefit", Dalam Hubungannya dengan Pembinaan Jalan Umum, Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik, Hal 14 (tanpa tahun penerbitan)

9) Drs. Soetrisno PH, dasar-dasar Evaluasi Proyek", Fakultas Ekonomi UGM, Yogyakarta 1981.

Menghitung manfaat (benefit) dan biaya (cost)

Benefit dari proyek-proyek fisik seperti pembangunan/peningkatan jalan, pembuatan waduk atau perluasan jaringan irigasi merupakan benefit yang dapat dihitung/dinilai dengan uang (Tangible benefit). Misalnya pada pembangunan jalan baru/peningkatan jalan maka benefit yang diperoleh antara lain :

  1. Penurunan biaya operasi kendaran dari normal traffic, diverted traffic dan generated traffic.
  2. Penurunan biaya satuan waktu (unit time cost)
  3. Penurunan biaya pemeliharaan jalan

Sedangkan pada proyek pembuatan waduk atau perluasan jaringan irigasi akan memberikan benefit antara lain :

  1. Meningkatnya produksi hasil pertanian (intensifikasi)
  2. Perluasan lahan berpengairan (ekstensifikasi) yang juga akan meningkatkan produksi hasil pertanian
  3. Peningkatan produksi perikanan darat, sebagai hasil sampingan dari pembuatan waduk dan sebagainya.

Sedangkan benefit lainnya yang sulit dihitung (intangible benefit) berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat yaitu :

  1. Peningkatan keamanan dan kenyamanan
  2. Peningkatan kecerdasan
  3. Peningkatan derajat kesehatan.

Bagaimana Cara Menganalisis Proyek-proyek Permukiman dan Prasarana Permukiman

Kecuali pembangunan sarana pemukiman (real estate, rumah sederhana dan rumah sangat sederhana), yang dapat dievaluasi dengan menggunakan analisis finansil dilihat dari kepentingan pengembang, maka untuk prasarana pemukiman, seperti :

  1. Penyediaan Air Bersih
  2. Pemugaran perumahan rakyat
  3. Pembuatan jalan setapak
  4. Pembuatan saluran drainase
  5. Pembuatan tempat pembuangan sampah
  6. Pembuatan pengolahan limbah
  7. Pembuatan tempat mandi, cuci dan kakus (MCK), dan
  8. Pembangunan Gedung Sekolah (SMU, SLTP dan lain-lain),

benefitnya bersifat intangible (sulit dinilai dengan uang).

Karena penulis belum menemukan bahan bacaan yang mengulas perhitungan IRR-nya. Penulis mencoba menawarkan cara memberi skor (nilai), atas keadaan fasilitas tersebut dengan membuat daftar Isian sebagai berikut :

Pertanyaan

  1. Apakah pada waktu fasilitas tersebut dibangun karena diminta masyarakat sekitarnya ?
  • Nilai 10 (diminta masyarakat berkali-kali)
  • Nilai 8 (diminta masyarakat)
  • Nilai 6 (kurang diminta masyarakat)
  • Nilai 4 (tidak diminta masyarakat)
  1. Apakah fasilitas tersebut memang dibutuhkan masyarakat ?
  • Nilai 10 (sangat dibutuhkan)
  • Nilai 8 (dibutuhkan)
  • Nilai 6 (kurang dibutuhkan)
  • Nilai 4 (tidak dibutuhkan)
  1. Apakah lokasi pembangunan fasilitas tersebut letaknya strategis/mudah dicapai ?
  • Nilai 10 (sangat mudah dicapai)
  • Nilai 8 (mudah dicapai)
  • Nilai 6 (kurang mudah dicapai)
  • Nilai 4 (tidak mudah dicapai)
  1. Apakah penggunaan fasilitas tersebut sesuai rencana ?
  • Nilai 10 (sangat sesuai)
  • Nilai 8 (sesuai)
  • Nilai 6 (kurang sesuai)
  • Nilai 4 (tidak sesuai)
  1. Apakah bangunan tersebut sesuai spesifikasi ?
  • Nilai 10 (lebih baik dari spesifikasi)
  • Nilai 8 (sesuai spesifikasi)
  • Nilai 6 (kurang sesuai spesifikasi)
  • Nilai 4 (tidak sesuai spesifikasi)
  1. Apakah nilai bangunan tersebut sesuai anggaran/kontrak ?
  • Nilai 10 (lebih tinggi dari nilai kontrak)
  • Nilai 8 (sesuai nilai kontrak)
  • Nilai 6 (kurang sesuai nilai kontrak)
  • Nilai 4 (tidak sesuai nilai kontrak)
  1. Apakah fasilitas tersebut dipelihara oleh masyarakat sekitarnya ?
  • Nilai 10 (dipelihara dengan sangat baik)
  • Nilai 8 (dipelihara)
  • Nilai 6 (kurang dipelihara)
  • Nilai 4 (tidak dipelihara)
  1. Apakah fasilitas tersebut dikelola/dibiayai oleh masyarakat ?
  • Nilai 10 (secara bersama-sama)
  • Nilai 8 (dikelola oleh sekelompok orang)
  • Nilai 6 (dikelola oleh satu kelompok)
  • Nilai 4 (tidak dikelola sama sekali)
  1. Apakah fasilitas tersebut membuat masyarakat sekitar meningkatkan derajat kesehatan?
  • Nilai 10 (sangat meningkatkan derajat kesehatan)
  • Nilai 8 (meningkatkan derajat kesehatan)
  • Nilai 6 (kurang meningkatkan derajat kesehatan)
  • Nilai 4 (tidak meningkatkan derajat kesehatan)
  1. Apakah adanya fasilitas tersebut berdampak meningkatnya kecerdasan masyarakat ?
  • Nilai 10 (sangat meningkatkan kecerdasan)
  • Nilai 8 (meningkatkan kecerdasan)
  • Nilai 6 (kurang meningkatkan kecerdasan)
  • Nilai 4 (tidak meningkatkan kecerdasan)

Penilaian :

  • Apabila nilai keseluruhan : 80 – 100, fasilitas tersebut dinilai sangat bermanfaat bagi masyarakat.
  • Apabila nilai keseluruhan : 60 – 79, fasilitas tersebut dinilai bermanfaat bagi masyarakat.
  • Apabila nilai keseluruhan : 40 – 59, fasilitas tersebut dinilai kurang bermanfaat bagi masyarakat.
  • Apabila nilai keseluruhan : 20 – 39, fasilitas tersebut tidak bermanfaat bagi masyarakat.

Penutup

Perhitungan IRR untuk mengevaluasi/mengevaluasi kembali kelayakan proyek memerlukan data yang lengkap mencakup seluruh umur rencana proyek. Data tersebut berupa :

  • Biaya Konstruksi
  • Biaya Operasi dan Pemeliharaan
  • Manfaat/Benefit (dengan dan tanpa adanya proyek)

Pengerjaan secara manual akan memerlukan waktu lama, sehingga dibutuhkan fasilitas komputer beserta perangkat lunaknya (software). Sedangkan untuk mengevaluasi kelayakan proyek-proyek prasarana pemukiman yang penulis kemukakan diatas baru berupa pemikiran. Karena itu penulis mohon kepada sidang Pembaca apabila memahami cara perhitungan IRR-nya, supaya menyampaikan kepada Redaksi agar dapat dipakai sebagai acuan dalam pemeriksaan mendatang.

Semoga apa yang penulis sampaikan ini bermanfaat buat kita semua. Amiin

  1. Net Present Value/NPV (Nilai bersih saat sekarang)

NPV merupakan selisih antara Present Value dari pada Benefit dan Present Value dari pada Biaya

Formula matematisnya :

n Bt - Ct


NPV = å

t=1 t

(1+i)

dimana Bt = Benefit sosial kotor pada tahun t

Ct = Biaya sosial kotor proyek pada tahun t baik yang berupa modal atau

Operasi

n = Umur ekonomis proyek

i = Social oportunity Cost of Capital (OCC) yang dianggap sebagai Social

Discount rate

Proyek dinyatakan Go kalau NPV > 0. Jika NPV = 0, berarti proyek tersebut mengembalikan persis sebesar OCC. Jika NPV < 0 = berarti proyek ditolak, artinya ada penggunaan lain dari modal yang lebih menguntungkan.

  1. Net Benefit Cost Ratio/Net B/C (Perbandingan Bersih manfaat/hasil dengan biaya)

Bt - Ct

Untuk menghitung indeks ini terlebih dahulu dihitung untuk setiap tahun t.

t

(1+i)

lalu Net B/C adalah perbandingan sedemikian rupa sehingga pembilangnya terdiri dari Present Value total daripada Benefit bersih dalam tahun-tahun dimana benefit bersih itu bersifat (+).

Sedangkan penyebunya terdiri dari Present Value total daripada biaya bersih dalam tahun-tahun dimana Bt-Ct bersih (-), yaitu biaya kotor lebih besar daripada benefit kotor.

Formula matematisnya sebagai berikut :

n Bt - Ct


å

t=1 t

(1+i) ( Bt – Ct > 0 )



Net B/C =

n Ct – Bt (Bt – Ct <>


å

t=1 t

(1+i)

Seperti halnya IRR, maka Net B/C itu akan diperoleh apabila paling sedikit salah satu nilai Bt – Ct bersifat (-). Kalau tidak, maka Net B/C akan tak terhingga.

Dengan demikian kalau rumus diatas memberikan hasil Net B/C = > 1 berarti NPV > 0 merupakan tanda proyek Go sedangkan Net B/C = <>No Go.

  1. Gross Benefit Cost Ratio/Gross B/C (Perbandingan Kotor Manfaat/hasil dengan Baiya)

Indeks ini serupa dengan Net B/C, hanya benefit maupun biayanya diberikan secara Kotor dalam pembilang dan penyebutnya.

Formula matematisnya :

n Bt


å

t=1 t

(1+i)


Gross B/C =

n Ct


å

t=1 t

(1+i)

Sama dengan Net B/C, Ct yang dimaksud diatas mencakup Modal + Biaya

  1. Profitability Ratio (PR = PV’/K)

Indeks ini membedakan antara biaya yang merupakan modal awal (Kt) dan Biaya operasi (Ct). Rumusnya adalah sebagai berikut :

n

å Bt - Ct

t=1


Gross B/C =

n

å Kt

t=1

Angka perbandingan ini dianggap mengukur rentabilitas (hasil) suatu investasi diatas tingkat discount ratenya. Biasanya lebih mendekati Net B/C daripada ke Gross B/C.

Hukum Properti

HUKUM PROPERTI

POKOK BAHASAN :

    • PENGERTIAN PROPERTI
    • UU NO. 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOKAGRARIA (UUPA);
    • UNDANG-UNDANG NO 16 TAHUN 1985 TENTANG RUMAH SUSUN DAN PP PP NO 4 TAHUN 1988 TENTANG RUMAH SUSUN;
    • UU NO 12 TAHUN 1985 SEBAGAIMANA DIUBAH KE DALAM UU NO 12 TAHUN 1994 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN;
    • UU NO 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN;
    • UU NO 6 TAHUN 1983 SEBAGAIMANA DIUBAH KE DALAM UU NO 9 TAHUN 1994, PASAL 25 DAN DIJABARKAN DALAM PP NO 48 TAHUN 1994 DAN PP NO 27 TAHUN 1996 TENTANG PPH ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN;
    • UU NO 8 TAHUN 1983 SEBAGAIMANA DIUBAH KE DALAM UU NO 11 TAHUN 1994, KHUSUSNYA PASAL 16C TENTANG PPN BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENGHASILAN ATAS BARANG MEWAH;
    • TINJAUAN ASPEK KERJASAMA PEMANFAATAN PROPERTI (BENTUK KERJASAMA INVESTASI BOT, BOO, DLL);
  • · P erundang-undangan yang menggunakan istilah “properti” adalah Surat Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat, selaku Ketua BKP4N No. 05/KPTS/BKP4N/1995 tanggal 23 Juni 1995 dirumuskan sebagai berikut:
  • “ properti (real property) adalah tanah hak dan atau bangunan permanen yang menjadi obyek pemilik dan pembangunan” (pasal 1 angka 4).
  • · Pengertian “property” menurut Common Law adalah sebagai berikut:
    • Ownership or right to own something (pemilikan atau hak untuk memliki sesuatu benda)
    • Anything which can be owned (segala benda yang dapat dimiliki) Contoh: intellectual property, personal property.
    • Personal property = things (but not land) which belong to a person and can be inhereted by his heirs.
    • (Real) Property = land and building
  • · Di Indonesia hukum positif yang mengatur benda atau property adalah UU No. 5 Tahun 1960 tentang “Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria” dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia (Buku Kedua) tentang “BENDA”, yang membedakan:
    • Benda tak bergerak (real property) yaitu tanah atau tanah hak berikut benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah, baik karena alam maupun buatan manusia (bangunan perumahan dan lingkungannya),
    • Benda bergerak (atau persoanal property) yang menurut sifatnya dapat dipindah-pindahkan dan dihitung jumlahnya. Sedang benda bergerak dapat berupa berwujud (“tangible”) dan benda tak berwujud (“intangibles”), yaitu tagihan, hak paten, hak milik intelektual, dan lain-lainnya.
  • · Yang dimaksud dengan Real Property dalam kepustakaan tentang Real Estate dalam textbook “ Real Estate ” oleh Larry E. Wofford, (Second Edition, 1986) adalah sebagai berikut:
  • “ Real Property, which is defined as interest in land and all permanent attachments to land .
  • Many people use the phrases “real property” and “real estate” to mean the same thing. Technically, such usage is incorrect, but it remains very common.
  • · “ Interest in Land” adalah kepentingan (kewenangan) yang diperoleh pemegang hak dalam menguasai sebidang tanah berlandaskan hak atas tanah tertentu, yaitu kewenangan untuk menggunakan tanahnya, menunjuk tanah tersebut sebagai jaminan pelunasan hutang atau dibebani Hak Tanggungan, dapat menjual tanah yang bersangkutan dapat menyewakan bangunan yang didirikan di atas tanah itu kepada pihak lain.
  • Kewenangan-kewenangan tersebut merupakan “a bundle of right” berdasarkan penguasaannya secara legal, sebagaimana yang diterapkan dan dilindungi oleh Hukum Tanah positif yang tertulis yaitu UUPA dan peraturan pelaksanaannya.
  • Apa yang disebut “interest in land” meliputi pula “all attachment to land”. Ini berarti bahwa penguasaan sebidang tanah hak tertentu dapat meliputi pemilikan atas benda-benda yang terkait dengan tanah.
  • · Yang dimaksud dengan “all attachment to land” adalah “benda-benda yang berkaitan dengan tanah”. Dapat berupa:
    • Bangunan permanen (termasuk pula “fixtures”)
    • Tanaman keras (tanaman berumur panjang)
    • Hasil karya (patung, relief)
  • Benda-benda tersebut berikut tanah HM atau HGU atau HGB atau Hak Pakai dapat ditunjuk sebagai obyek Hak Tanggungan, yaitu sebagai jaminan pelunasan hutang (pasal 4 UUHT).
  • Benda-benda yang berkaitan dengan tanah pada suatu “real estate” (proyek perumahan) umumnya berupa: bangunan permanen yang melekat atau berkaitan dengan tanah, yaitu berbagai jenis rumah, rumah sederhana, rumah menengah, rumah besar disesuaikan dengan kelompok penghasilan pembelinya, demikian juga dengan rumah susun hunian, selalu dilengkapi dengan fasilitas sosial, prasarana lingkungan dan utilitas umum yang diperlukan oleh para penghuni perumahan yang bersangkutan.
  • · · Interest in real property
  • Selanjutnya “interest in real property” terdiri dari:
    • Present estate = a current right to passession of the land (hak untuk menguasai tanah sekarang)
      • Freehold estate = penguasaan dan penggunaan tanah dengan Hak Milik, umumnya di Indonesia tidak untuk keperluan bisnis.
      • Non Freehold estate = penguasaan dan penggunaan tanah yang bukan Hak Milik, misalnya HGU, HGB atau Hak Pakai, untuk pengembangan kegiatan usaha (bisnis) pada umumnya atau pembangunan perumahan.
    • Future estate = an interest that may become possesory at some future date (kewenangan untuk menguasai tanah yang akan diperoleh pada suatu tanggal tertentu di kemudian hari), misalnya hibah wasiat atau pewarisan menurut hukum
  • · Hak atas tanah apa saja yang termasuk dalam pengertian Real Property
    • UU Pokok Agraria menyediakan berbagai jenis tanah hak sebanyak 9 (sembilan) jenis dan dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu:
      • Hak atas tanah yang primer
      • Hak atas tanah sekunder
  • Hak atas tanah yang primer
    • Hak atas tanah yang primer adalah hak-hak atas tanah yang bersumber langsung pada Hak Bangsa Indonesia atas tanah (pasal 1 ayat (1) UUPA) dan diberikan oleh Negara adalah sebagai berikut:
        • A. Hak Milik (untuk keperluan pribadi).
        • B. Hak Guna Usaha; untuk usaha pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan, agribisnis.
        • C. Hak Guna Bangunan; untuk mendirikan bangunan, perumahan, perkantoran, super blok, kawasan industri dan lain-lainnya.
        • D. Hak Pakai; selain untuk keperluan instansi pemerintah, keperluan khusus dapat pula untuk kegiatan lain seperti HGB di atas.
        • E. Hak Pengeloalaan; hak yang menyediakan tanah untuk keperluan pihak lain dan termasuk hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya, yaitu Pemerintah Daerah, BUMN, Departemen dan lembaga non departemen.
  • · Penjelasan hak-hak atas tanah yang primer
    • a s.d d; termasuk hak-hak atas tanah yang dapat digunakan untuk pengembangan kegiatan usaha (bisnis) pada umumnya.
    • c dan d untuk bisnis di bidang property (perumahan tunggal dan rumah susun).
    • a s.d d adalah hak-hak atas tanah yang meliputi 5 (lima) syarat / sifat yang sangat penting dalam pengertian “interest in land” maupun “interest in property” baik bagi keperluan pribadi maupun bisnis, sebagai “a bundle of right” yang meliputi:
      • Memberi wewenang menggunakan tanah yang bersangkutan sesuai dengan tujuannya, baik untuk keperluan pribadi maupun kegiatan usaha (bisnis);
      • Mempunyai tanda bukti hak, sertifikat hak tanah dan setiap terjadi perubahan wajib didaftarkan;
      • Jangka waktu penguasaannya cukup lama dan turun temurun;
      • Dapat beralih karena hukum kepada ahli waris pemegang haknya;
      • Dapat ditunjuk sebagai jaminan pelunasan hutang dan juga dapat dibebani Hak Tanggungan;
      • Dapat diperjualbelikan;
      • Bangunan yang didirikan di atas Hak Milik/HGB dan Hak Pakai dapat disewakan kepada pihak lain.

· Jenis Hak Pertama kali Diperpanjang Diperbaharui haknya HGU 35/25 tahun 25 tahun 35/25 tahun HGB 30 tahun 20 tahun 30 tahun Hak Pakai 25 tahun 20 tahun 25 tahun

    • · Hak Pengelolaan (HPL); sifatnya khusus, tidak dapat dipunyai oleh WNI maupun PT (swasta), jangka waktunya tidak terbatas, akan tetapi tidak memenuhi sifat-sifat lainnya yang disebutkan di atas.
    • Bagian-bagian tanah HPL dapat diberikan kepada pihak lain dengan Hak Milik, HGB, Hak Pakai untuk keperluan pribadi (perumahan sederhana yang dibangun Perum Perumnas) atau untuk keperluan bisnis (komplek eks Bandara Kemayoran). Dan HM, HGB, Hak Pakai tersebut memenuhi 6 syarat di atas.
  • Status hukum subyeknya menentukan kelangsungan penguasaan dan penggunaan tanahnya
    • Di samping hal-hal yang disebutkan di atas perlu diperhatikan pula ketentuan yang mengatur persyaratan subjeknya untuk setiap jenis hak atas tanah sebagaimana diatur dalam pasal 21, 30, 36, 42 dan 45 UUPA. Status hukum pemegang haknya sangat menentukan kelangsungan penguasaan dan penggunaan tanah hak yang bersangkutan. Status subjeknya dan j e nis hak atas tanah yang disediakan adalah sebagai berikut :

· Jika subjeknya tidak memenuhi syarat, maka akan mempengaruhi kelangsungan penguasaan atas tanah haknya, dengan disertai sanksinya jika kewajiban yang ditetapkan tidak dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu, haknya hapus (dibatalkan) dan tanahnya menjadi tanah Negara, sebagaimana diatur dalam ketentuan di bawah ini : Hak Milik : Pasal 21 ayat (3) dan pasal 26 ayat (2) UUPA HGU : Pasal 30 ayat (2) UUPA HGB : 36 ayat (2) UUPA Status Subjek Jenis Hak Yang Disediakan * Warga Negara Indonesia HM, HGB, Hak Pakai, Hak Sewa, dll

  • * Badan Hukum Indonesia
  • Perseroan Terbatas
  • BUMN / BUMD

- HM, HGB, Hak Pakai, Hak Sewa, dll - HM, HGB, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Pengelolaan * WNA Penduduk Indonesia Hak Pakai, Hak Sewa * Badan Hukum Asing Hak Pakai, Hak Sewa

  • · Hak atas tanah yang sekunder
    • Hak-hak atas tanah yang sekunder a dalah hak-hak atas tanah yang diberikan di atas tanah Hak Milik dan bersumber secara tidak langsung pada Hak Bangsa Indonesia atas tanah (pasal 1 ayat (1) UUPA). Pemilik tanah memberikan berdasarkan perjanjian pemberian hak baru dan pada asasnya selama masih diperlukan perjanjian yang bersangkutan dapat diperbaharui.
    • Hak-hak yang sekunder adalah:
      • a. HGB
      • b. Hak Pakai
      • c. Hak Sewa
      • d. Hak Gadai atas tanah
      • e. Hak Usaha Bagi Hasil
      • f. Hak Menumpan g
  • · Penjelasan atas hak-hak tanah yang sekunder
    • a s.d c telah diatur lebih lanjut dalam PP No. 40 / 1996 dan PP No. 41 / 1996, sehingga dapat memenuhi keperluan untuk pengembangan properti di wilayah perkotaan. Dapat pula dijadikan dasar untuk perjanjian kerjasama dalam pengembangan properti, antara developer dan pemilik tanah dengan pola BOT (win-win project).
    • c s.d f biasanya di pedesaan dan cenderung untuk memenuhi kebutuhan pribadi/sendiri oleh karena itu belum bisa dimasukkan dalam kegiatan bisnis, sekalipun cenderung memenuhi kebutuhan individual dari warga desa yang bersangkutan, namun jika produksi tanaman pangan melebihi kebutuhannya secara pribadi, dapat pula dijual kepada warga masyarakat lainnya yang memerlukannya.

· HGB 30 tahun Diperbaharui 30 tahun Hak Pakai 25 tahun Diperbaharui 25 tahun Hak Sewa 25 tahun Diperbaharui 25 tahun

  • · Latar belakang :
    • Terbatasnya ketersediaan tanah sebagai tempat mendirikan bangunan (tempat usaha atau hunian);
    • Bertambahnya populasi penduduk;
  • KONSEP KONDOMINIUM
    • Berpangkal pada teori-teori tentang pemilikan atas suatu benda, yaitu: suatubenda dapat dimiliki oleh seseorang, dua orang atau bahkan lebih, yang dikenal dengan pemilikan bersama.
  • Rumah susun dapat berupa flat, apartemen atau condominium yang bermakna kepemilikan secara bersama-sama, dimana inti sistem kondominium adalah pengaturan kepemilikan bersama atas sebidang tanah dengan bangunan fisik diatasnya, karena itu pemecahan masalahnya selalu dikaitkan dengan hukum yang mengatur tanah;
  • Asas-asas dalam sistem kondominium (rumah susun):
    • Asas perlekatan (accessie/natrekking)
    • Asas pemisahan horisontal
  • · ISTILAH KONDOMINIUM / RUMAH SUSUN
    • Menteri Negara Agraria/Kepala BPN (1996)
      • Rusun merupakan terjemahan dari Condominium,Flat atau Apartment (Co – bersama, Dominium – pemilikan).
    • Soni Harsono(1991)
      • Inti sistem kondominium adalah pemilikan bersama atas sebidang tanah dengan bangunan fisik diatasnya, karena itu pemecahan masalahnya selalu dikaitkan dengan hukum yang mengatur tanah.
  • · ASAS – ASAS DALAM SISTEM KONDOMINIUM
    • Asas Perlekatan (Accessie/ Natrekking)
      • Bangunan menjadi bagian dari tanahnya, jadi dengan sendirinya bangunan itu tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku terhadap tanahnya.
      • Hak pemilikan atas tanah hak barat itu meliputi juga pemilikan dari bangunan yang ada di atasnya (Pasal 571 ayat 1 KUH Perdata).
      • Bangunan yang didirikan di atas kepunyaan pihak lain menjadi milik yang empunya tanah (kecuali diperjanjikan lain).
    • Asas Perlekatan dibedakan menjadi 2 (dua) macam,yaitu :
      • Perlekatan secara Horizontal (mendatar),yaitu meletakkan suatu benda sebagai bagian yang tidak terpisah dari benda pokoknya (pasal 588 KUH Perdata), contoh : balkon pada rumah induknya.
      • Perlekatan secara Vertikal, yaitu perlekatan secara tegak lurus yang melekatkan semua benda yang ada diatasnya maupun di dalam tanah dengan tanah sebagai benda pokoknya (pasal 571 KUH Perdata).
  • · Asas pemisahan Horizontal
    • Asas pemisahan horizontal adalah asas yang membagi, membatasi dan memisahkan pemilikan atas sebidang tanah berikut segala sesuatu yang berkenaan dengan tanah tersebut secara horizontal.
    • Jika disimak lebih jauh tentang sistem kondominium dalam pembangunan rumah susun, yang mengandung pemilikan bersama atas sarana bangunan yang meliputi pemilikan bersama atas tanahnya, dengan jelas sistem ini menganut asas perletakan vertical. Di dalam sistem kondominium ada pemilikan bersama atas tanah dan sarana lain, sehingga setiap SRS itu mempunyai hak pemilikan bersama atas tanahnya yang juga dicantumkan dalam sertifikat pemilikan SRS. Dengan demikian, sistem kondominium yang dipergunakan dalam UURS tidak Sesuai dengan jiwa UUPA sendiri yang menganut asas pemisahan horizontal.
  • · ISI DAN SIFAT :
    • Isi hak milik atas satuan rumah susun (HMSRS) meliputi :
      • Hak perseorangan atas satuan rumah susun yang digunakan secara terpisah;
      • Hak bersama atas bagian-bagian dari bangunan rumah susun;
      • Hak bersama atas benda-benda;
      • Hak bersama atas tanah;
    • Sifat HMSRS
      • Meskipun HMSRS merupakan hak pemilikan perseorangan dengan hak bersama,didalamhirarki hak penguasaan atas tanah pada hukumtanah nasional,HMSRS dikategorikan sebagai hak perseorangan
  • · Subyek Hak Milik Atas SRS
    • Perseorangan dan badan hukum yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah;
    • Orang asing (WNA) sesuai dengan PP No 40 tahun 1996 dan PP No 41 tahun 1996 tentang pemilikan rumah tempat tinggal atau hunian oleh orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
  • Peralihan HMSRS
    • Pasal 10 UURS menyatakan bahwa HMSRS dapat beralih kepada pihak lain dengan cara pemindahan hak atau dengan cara pewarisan
  • · Pembebanan HMSRS
    • Pasal 12 dan 13 UURS menyatakan bahwa rumah susun dan HMSRS berikut tempat bangunan itu sendiri serta benda lainnya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani :
      • Hipotik jika tanahnya Hak Milik atau Hak Guna Bangunan,dan;
      • Fidusia jika tanahnya Hak Pakai atas tanah negara;
  • Hapusnya HMSRS
    • Pasal 50 PP No 4 tahun 1998 menetapkan bahwa hapusnya HMSRS dapat terjadi karena
      • Hak atas tanah hapus menurut peraturan-peraturan yang berlaku;
      • Tanah dan bangunannya musnah;
      • Terpenuhinya syarat (tidak terpenuhinya salah satu unsur dalam pasal 8 UURS)
      • Pelepasan hak secara sukarela
  • · NILAI PERBANDINGAN PROPORSIONAL
  • (SHARE VALUE) DALAM KEPEMILIKAN SRS
    • Landasan hokum
      • UU no 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun
      • PP no 4 tahun 1988 tentang Rumah Susun
  • Pengertian :
    • Angka yang menunjukkan perbandingan antara satuan rumah susun (SRS) terhadap hak-hak atas bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama, dihitung berdasarkan luas atau nilai SRS yang bersangkutan terhadap jumlah luas atau nilai rumah susun secara keseluruhan pada waktu penyelenggara bangunan menghitung biaya pembangunan keseluruhan untuk pertama kalinya dalam menentuan harga jualnya.
  • · FUNGSI NPP/SHARE VALUE
    • Digunakan sebagai dasar untuk mengadakan pemisahan dan penerbitan sertifikat Hak Milik atas SRS
    • Digunakan sebagai dasar untuk menentukan hak dan kewajiban terhadap pemilikan dan pengelolaan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama.
    • Menentukan hak suara (voting right) dari pemilik SRS
    • Proporsi dana yang harus dibayar kepada pihak pengelola (management coorporation)
    • Hak atas keuntungan hasil penjualan tanah jika kepentingan bersama dihentikan atau tanah dijual
  • · MAKSUD PENETAPAN NPP
    • Untuk mengetahui nilai masing-masing SRS terhadap bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama dalam lingkungan rumah susun secara keseluruhan.
  • DASAR PERHITUNGAN NPP
    • PP no 4 tahun 1988 menentukan bahwa NPP dihitung berdasarkan luas atau nilai SRS yang bersangkutan terhadap jumlah luas atau nilai rumah susun secara keseluruhan pada waktu penyelenggaraan pembangunan pertama kali menghitung biaya pembangunan rumah susun secara keseluruhan.
  • FORMULASI
    • Berdasarkan Luas =
      • NPP = Luas Unit Satuan Rumah Susun
      • Jumlah Luas Unit Seluruh SRS
    • Berdasarkan Nilai Bangunan
      • NPP = Nilai Unit Bangunan SRS
      • Total Nilai Bangunan Seluruh SRS
  • · HAK DAN KEWAJIBAN PENGHUNI RUSUN
  • Pasal 61 PP no 4 tahun 1988 menyebutkan beberapa hak penghuni rumah susun, yaitu :
    • Memanfaatkan rumah susun dan lingkungannya termasuk bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama secara aman dan tertib.
    • Mendapatkan perlindungan sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya
    • Memilih dan dipilih menjadi anggota pengurus perhimpunan penghuni
  • Kewajiban :
    • Mematuhi dan melaksanakan peraturan tata tertib dalam rumah susun dan lingkungannya sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga;
    • Membayar iuran pengelolaan dan premi asuransi kebakaran;
    • Memelihara rumah susun dan lingkungannya termasuk bagian dan benda bersama;
  • · Larangan :
    • Melakukan perbuatan yang membahayakan keamanan, ketertiban dan keselamatan terhadap penghuni lain, bangunan dan lingkungannya;
    • Mengubah bentuk dan/atau menambah bangunan di luar SRS yang dimiliki tanpa mendapat persetujuan (baik dari perhimpunan penghuni dan/atau dinas tata kota)
  • FUNGSI PERHIMPUNAN PENGHUNI
    • Membinan terciptanya kehidupan lingkungan yang sehat, tertib dan aman;
    • Mengatur dan membina kepentingan penghuni;
    • Mengelola rumah susun dan lingkungannya;
  • · PENGHUNIAN DAN PENGELOLAAN
  • Pembentukan Perhimpunan Penghuni
    • Setelah rumah susun dihuni, UURS mewajibkan kepada para penghuni untuk membentuk perhimpunan penghuni dan setiap penghuni wajib menjadi anggotanya;
    • Perhimpunan penghuni dapat mewakilipara penghuni dalam melakukan perbuatan hukum baik kedalam maupun keluar pengadilan;
    • Keberadaan perhimpunan penghuni adalah untuk mengatur dan mengurus kepentingan bersama yang bersangkutan sebagai pemilikan, penghunian dan pengelolaannya;
    • Sebelum perhimpunan penghuni terbentuk maka Perusahaan Pembangunan Ruman Susun (PPRS) wajib bertindak sebagai pengurus perhimpunan dan membantu penyiapan terbentuknya perhimpunan penghuni dalam waktu secepatnya;
    • Perhimpunan penghuni dibentuk dengan akta yang disahkan oleh Bupati atau Walikota (khusus DKI disahkan oleh Gubernur)
  • · PENGELOLAAN
  • Sejak terbentuknya PP, maka PPRS diwajibkan untuk mengelolan dalamjangka sekurang-kurangnya 3 (tiga) buan dan selama-lamanya 1 (satu) tahun;
  • Setelah PP terbentuk, pengelolaan SRS dilakukan oleh pemilik sesuai AD dan ART. Tetapi berdasarkan pasal19 (4) UURS, PP dapat menunjuk suatu badan pengelolan untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut;
  • Badan pengelola harus berbadan hukum, profesional dan mempunyai unit organisasi, personal, dan peralatan
  • · Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994.
  • Ketentuan lain yang merupakan derivasi Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994.
  • · Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman (termasuk rawa-rawa tambak perairan 0serta laut wilayah Republik Indonesia.
  • Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan atau/bangunan.
    • Termasuk dalam pengertian bangunan adalah :
    • Jalan lingkungan dalam satu kesatuan dengan kompleks bangunan
    • Jalan tol
    • Kolam renang
    • Pagar mewah
    • Tempat olah raga
    • Galangan kapal, dermaga
    • Taman mewah
    • Tempat penambpungan/kilang minyak, air, gas dan pipa minyak
    • Fasilitas lain yang memberikan manfaat.
  • · Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual-beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual-beli, maka Nilai Jual Objek Pajak ditentukan melalui perbandingan harga.
  • Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) adalah surat yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan data objek menurut ketentuan UU Pajak Bumi dan Bangunan.
  • Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) adalah surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya pajak terutang kepada wajib pajak. Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang) berdasarkan SPOP (Surat Pemeberitahuan Objek Pajak).
  • · OBJEK PAJAK
  • Yang menjadi Objek Pajak adalah bumi dan/atau bangunan.
  • Yang dikecualikan / tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan
    • Objek pajak yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dan tidak untuk mencari keuntungan, misal : tempat peribadatan, sosial, pendidikan, dan kebudayaan nasional;
    • Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala atau yang sejenis dengan itu;
    • Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak.
    • digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik.
    • Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.
  • Sementara objek pajak yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan, penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
  • · SUBJEK PAJAK
  • Yang menjadi subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas tanah bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. Dengan demikian tanda pembayaran/pelunasan pajak bukan merupakan bukti hak. Subjek Pajak inilah yang dikenakan kewajiban membayar PBB atau yang menjadi wajib pajak.
  • · DASAR PENGENAAN PAJAK
  • Dasar Pengenaan Pajak adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual-beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual-beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
  • NJOP ditetapkan setiap tiga tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai perkembangan daerahnya. Penentuan NJOP diperoleh melalui penilaian objek PBB tersebut. Sementara itu mengenai Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) yang ditetapkan terakhir oleh Keputusan Menteri Keuangan No. 201/KMK.04/200 0 , setinggi-tingginya adalah sebesar Rp. 12.000.000,00 untuk setiap Wajib Pajak. Apabila seorang Wajib Pajak mempunyai beberapa objek pajak, yang diberikan NJOP TKP hanya salah satu objek pajak yang nilainya terbesar.
  • · DASAR PENGHITUNGAN PBB
    • Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2002, maka besarnya NJKP untuk penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan ditentukan sebagai berikut:
      • Sebesar 40% dari NJOP untuk:
        • Objek Pajak Perkebunan,
        • Objek Pajak Kehutanan,
        • Objek Pajak Pertambangan
        • Objek Pajak Bumi dan Bangunan lainnya apabila NJOP ³ 1 Milyar rupiah.
      • Sebesar 20% dari NJOP untuk Objek Pajak Bumi dan Bangunan lainnya apabila NJOP <>
  • · DASAR PENAGIHAN PBB
  • Dasar Penagihan PBB ada tiga, yaitu:
    • Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)
    • Surat Ketetapan Pajak (SKP)
    • Surat Tagihan Pajak (STP)
  • Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)
    • SPPT adalah surat yang digunakan oelh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya pajak yang terutang kepada Wajib Pajak.
    • Dasar Penerbitan SPPT
      • Surat Pemberitahuan ini diterbitkan berdasarkan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP). Objek Pajak yang sebelumnya telah dikenakan IPEDA, SPPT dapat diterbitkan berdasarkan data Objek Pajak yang telah ada pada Kantor Pelayanan PBB yang bersangkutan.
    • Waktu pelunasan SPPT
      • Pajak yang terutang berdasarkan SPPT harus dilunasi selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak diterimanya SPPT oleh Wajib Pajak. Jadi bila seorang Wajib Pajak menerima SPPT pada tanggal 1 Maret 1998, maka selambat-lambatnya pada tanggal 31 Agustus 1998 ia harus sudah melunasi PBB-nya. Tanggal 31 Agustus 1998 ini disebut juga tanggal jatuh tempo SPPT.
  • · Surat Ketetapan Pajak (SKP)
  • Dasar Penerbitan SKP
    • SKP diterbitkan apabila Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) yang disampaikan melewati 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya SPOP oleh Wajib Pajak dan setelah ditegur secara tertulis ternyata tidak dikembalikan oleh Wajib Pajak sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran.
    • SKP diterbitkan/dibuat apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lainnya ternyata jumlah pajak yang terhutang lebih besar dari jumlah pajak berdasarkan SPOP yang dikembalikan oleh Wajib Pajak.
    • Waktu pelunasan SKP
    • Pajak yang terutang berdasarkan SKP harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya SKP ol e h Wajib Pajak. Jadi, apabila seorang Wajib Pajak menerima SKP pada tanggal 1 Maret 1998, ia sudah harus melunasi PBB selambat-lambatnya tanggal 31 Maret 1998. Tanggal 31 Maret 1998 ini disebut juga tanggal jatuh tempo SKP.
  • · Jumlah Pajak yang Terutang dalam SKP
    • Jumlah pajak yang terutang dalam SKP yang penerbitaannya disebabkan oleh pengembalian SPOP lewat 30 (tiga puluh) hari setelah diterima Wajib Pajak adalah sebesar pokok pajak ditambah dengan denda administrasi 25% dihitung dari pokok pajak.
  • Contoh:
    • A. Wajib Pajak A tidak menyampaikan SPOP berdasarkan data yang ada. Kepala Kantor Pelayanan PBB mengeluarkan SKP yang berisi objek pajak dengan luas dan nilai jual.
    • Luas objek pajak menurut SPOP:
    • Pokok Pajak = Rp. 100.000,00
    • Denda Aministrasi 25% X Rp. 100.000,00 = Rp. 25.000,00
    • Kewajiban Perpajakan = Rp. 125.000,00
    • B. Jumlah pajak yang terutang dalam SKP, dasar penerbitannya disebabkan oleh hasil pemeriksaan atau keterangan lainnya dengan pajak yang terutang dihitung berdasarkan SPOP ditambah denda administrasinya sebesar 25% dari selisih pajak yang terutang.
    • Contoh:
      • Berdasarkan SPOP diterbitkan SPPT Rp. 5.000.000,00
      • Berdasarkan pemeriksaan yang
    • seharusnya terutang dalam SKP Rp. 10.000.000,00
      • Selisih Rp. 5.000.000,00
      • Denda Administrasi 25% x Rp. 5.000.000,00 Rp. 1.125.000,00
      • Jumlah pajak dalam SKP Rp. 11.125.000,00
  • · Surat Tagihan Pajak (STP)
    • Dasar Penerbitan STP
      • Wajib Pajak terlambat membayar utang pajaknya seperti tercantum dalam SPPT, yaitu malampaui batas waktu 6 (enam) bulan sejak diterimanya SPPT oleh Wajib Pajak.
      • Wajib Pajak terlambat membayar utang pajaknya seperti tercantum dalam SKP, yaitu melampaui batas waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya SK oleh Wajib Pajak.
      • Wajib Pajak melunasi pajak yang terutang setelah lewat tempo pembayaran PBB, tetapi denda administrasi tidak dilunasi.
    • Besarnya Denda Administrasi dalam STP
      • Besarnya denda administrasi karena Wajib Pajak terlambat membayar pajaknya,
      • melampaui batas waktu jatuh tempo SPPT adalah sebesar 2% sebulan yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
    • Saat Jatuh Tempo STP
      • Saat jatuh tempo STP adalah satu bulan sejak diterimanya STP oleh Wajib Pajak. Misalkan STP diterima oleh Wajib Pajak tanggal 1 September 2000, maka jatuh tempo pembayarannya adalah tanggal 30 September 2000.
  • · HAK-HAK WAJIB PAJAK
  • Keberatan
  • Hal yang Mendasari Pengajuan Keberatan oleh Wajib Pajak yaitu:
    • Wajib Pajak merasa bahwa besarnya pajak terutang pada SPPT atau SKP yang diterimanya dari Kantor Pelayanan PBB tidak sesuai dengan keadaan objek pajak yang sebenarnya. Hal ini terjadi karena ada beberapa kesalahan seperti:
      • Kesalahan pada luas objek pajak bumi dan/atau bangunan
      • Kesalahan klasifikasi objek pajak bumi dan/atau bangunan
      • Kesalahan pada penetapan/pengenaan pajak terutang
    • Terdapat perbedaan penafsiran mengenai peraturan perundang-undangan tentang pajak (PBB) antara Wajib Pajak dengan aparat pajak.
  • · Syarat-syarat Pengajuan Keberatan
  • Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak c.q Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat manakala besarnya pajak terutang yang tercantum dalam SPPT atau SKP yang diterima dirasakan tidak sesuai dengan keadaan objek pajak yang sebenarnya.
  • Syarat-syarat formal pengajuan keberatan adalah sebagai berikut :
    • Surat pengajuan keberatan dibuat secara tertulis dalam Bahasa Indonesia.
    • Di dalamnya Wajib Pajak harus bisa memberikan alasan yang jelas. Surat pengajuan keberatan ini harus dilampiri bukti-bukti resmi.
    • Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak diterimanya SPPT atau SKP, kacuali ada force majeure .
    • Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak.
    • Keberatan atas besarnya pajak terutang SPPT atau SKP harus diajukan untuk tiap objek pajak dengan surat kebertan tersendiri pada tahun pajak, dan mencantumkan besarnya PBB yang benar menurut Wajib Pajak.
  • · Ketika mengajukan surat keberatan, Wajib Pajak harus bisa menunjukkan bukti-bukti untuk memperkuat alasan atas keberatannya.
  • Keberatan yang tidak memenuhi ketentuan tidak dianggap sebagai Surat Keberatan, tetapi bila masih dalam jangka waktu 3 bulan, KPP dapat meminta Wajib Pajak untuk melengkapai persyaratannya. Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan mengajukan keberatan, kepala KPP wajib memberi penjelasan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan PBB.
  • Keputusan keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya penetapan. Kepala Kanwil/Kepala KPP harus memberi keputusan dalam jangka waktu 12 bulan sejak tanggal diterimanya keberatan. Jika waktu di atas terlampaui, maka keberatan Wajib Pajak dianggap dikabulkan dan Kepala Kanwil/Kepala KPP harus menerbitkan surat keputusan yang berisi menerima seluruh pengajuan keberatan.
  • · PENGURANGAN
  • Pengurangan pajak terutang dapat diberikan kepada Wajib Pajak perorangan atau badan dalam hal:
    • Kondisi objek pajak yang ada hubungannya dengan Subjek Pajak (misal pensiun, tidak mampu bayar, dan lain-lain). Besarnya pengurangan yang diperbolehkan adalah setinggi-tingginya 75%, berdasarkan pertimbangan yang wajar dan objektif dengan mengingat penghasilan Wajib Pajak dan besar PBB-nya.
    • Objek Pajak terkena bencana alam, seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor, gunung meletus, dan sebagainya, serta sebab-sebab lain yang luar biasa seperti kebakaran, kekeringan (bero), wabah penyakit, dan hama tanaman (puso). Besarnya pengurangan yang diperbolehkan adalah setinggi-tingginya 100% berdasarkan pertimbangan yang wajar dan objektif dengan mengingat persentase kerusakan.
  • · Cara Pengajuan Permohonan Pengurangan
  • Wajib Pajak bisa mengajukan permohonan tertulis dalam Bahasa Indonesia tentang pengurangan PBB kepada Menteri Keuangan c.q Kantor Pelayanan Pajak yang menerbitkan SPPT atau SKP dengan mencantumkan besarnya persentase pengurangan yang dimohonkan.
  • Cara pengajuan permohonan pengurangan harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
      • Permohonan pengurangan PBB untuk ketetapan PBB sampai dengan Rp. 25.000 (dua puluh lima ribu rupiah) dapat diajukan secara perorangan maupun kolektif (melalui Kepala Desa/Lurah yang bersangkutan).
      • Permohonan pengurangan PBB untuk ketetapan PBB di atas Rp. 25.000,- (dua puluh lima ribu rupiah) harus diajukan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan dengan melampirkan fotokopi SPPT/SKP dari tahun pajak yang diajukan permohonan pengurangannya.
      • Permohonan pengurangan PBB untuk Wajib Pajak Badan harus dilampiri dengan:
        • Fotokopi SPPT/SKP dati tahun pajak yang diajukan permohonannya.
        • SPT PPh tahun pajak yang terakhir beserta lampirannya.
  • · Batas Waktu Permohonan Pengurangan
    • Kepala Kantor Pelayanan PBB yang menerbitkan SPPT atau SKP, harus sudah memberikan keputusan selambat-lambatnya 60 hari sejak diterimanya permohonan pengurangan, keputusan tersebut, dapat menerima seluruh permohonan, sebagian permohonan/menolak.
    • Keputusan pemberian pengurangan tersebut berlaku untuk satu tahun pajak yang bersangkutan.
    • Keputusan tersebut di atas berdasarkan hasil penelitian administrasi dan/atau verifikasi lapangan dengan pertimbangan yang wajar dan objektif dengan pedoman sebagai berikut:
      • Permohonan diterima seluruhnya apabila hasil penelitian administrasi dan/atau verifikasi lapangan menunjukkan hal-hal yang sesuai dengan alasan-alasan permohonan pengajuan.
      • · Permohonan diterima sebagian apabila dari hasil penelitian administrasi dan/atau verifikasi lapangan didapatkan data yang sebagian sesuai dengan alasan-alasan permohonan pengurangan.
      • Permohonan ditolak seluruhnya apabila hasil penelitian administrasi dan/atau verifikasi lapangan didapatkan data yang tidak benar/bertentangan dengan alasan-alasan yang diajukan untuk permohonan pengurangan.
    • Apabila dalam jangka waktu permohonan 60 hari telah lewat dan keputusan belum diterbitkan, maka permohonan pengurangan dianggap diterima dan diterbitkan pemberian pengurangan yang besarnya sesuai dengan permohonan pengurangan.
    • Jangka waktu 60 hari tersebut dihitung sejak tanggal tanda terima Surat Permohonan tersebut, dalam hal surat permohonan disampaikan secara langsung tanggal diterimanya Surat Permohonan dikirimkan melalui pos (biasa maupun tercatat) atau sarana pengiriman lainnya.
  • · DALUWARSA PBB
  • Daluwarsa Penetapan PBB
    • Daluwarsa penetapan PBB adalah hapusnya/gugurnya hak negara untuk menetapkan PBB yang terutang karena lampaunya waktu sepuluh tahun sejak saat terutangnya PBB.
  • Daluwarsa Penagihan PBB
    • Daluwarsa penagihan PBB adalah hapusnya/gugurnya hak negara untuk melakukan penagihan dengan surat paksa (berdasarkan UU PPSP) atas PBB, termasuk bunga, denda, kanaikan dan biaya penagihan.
  • Hak untuk melakukan penagihan dengan surat paksa tersebut gugur setelah dilampauinya jangka waktu 10 tahun terutangnya pajak yang bersangkutan, kecuali:
    • Apabila Wajib Pajak setelah jangka waktu 10 tahun tersebut melakukan tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan mengenai PBB yang penagihannya telah daluwarsa berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
    • Telah dikeluarkan Surat Teguran dan Surat Paksa.
    • Adanya pengakuan Wajib Pajak secara langsung ataupun tidak langsung, antara lain:
      • Dilakukan pembayaran pajak yang terutang tersebut
      • Dilakukan permohonan penundaan/angsuran pembayaran pajak
  • Dalam hal demikian, daluwarsa penagihan piutang pajak dihitung dari saat terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut di atas.
  • · Subjek pajak BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Subjek pajak yang dikenakan membayar pajak menjadi Wajib Pajak (Pasal 4).
  • Objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. BPHTB dikenakan kepada peristiwa hukum atau perbuatan hukum atas transaksi/peralihan haknya yang meliputi pemindahan hak dan pemberian hak baru (Pasal 2).
    • Pemindahan hak dapat terjadi karena jual-beli, tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penunjukan pembeli dalam lelang, pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, hadiah.
    • Sedangkan pemberian hak baru terjadi baik karena kelanjutan pelepasan hak ataupun di luar pelepasan hak.
  • · Hak atas tanah meliputi:
    • HAK MILIK , yaitu hak turun menurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah;
    • HAK GUNA USAHA , yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku;
    • HAK GUNA BANGUNAN adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;
    • HAK PAKAI adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langusng oleh Negara atau tanah milik orang lain sesuai perjanjian, yang bukan perjanjian sewa-menyewa ataui perjanjian pengolahan tanah sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
    • HAK MILIK ATAS SATUAN RUMAH SUSUN adalah milik atas satuan yang bersifat bagian bersama, benda bersama, dan tanah yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan;
    • hak pengelolaan, yaitu hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain, berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.
  • · Objek yang tidak dikenakan pajak adalah objek yang diperoleh:
    • perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
    • Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum yaitu tanah/bangunan untuk penyelenggaraan pemerintahan baik pusat maupun daerah dan kegiatan yang semata-mata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, misalnya, untuk instansi pemerintah, rumah sakit pemerintah, dan jalan umum.
    • Badan atau perwakilan organisasi internasional, baik pemerintah maupun non pemerintah, yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;
    • Orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama. Konversi hak adalah perubahan hak dari hak lama menjadi hak baru menurut Undang-undang Pokok Agraria, termasuk hak oleh Pemerintah, contoh:
      • Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik tanpa adanya perubahan nama;
      • Bekas tanah hak milik adat (dengan bukti surat Girik atau sejenisnya) menjadi hak baru;
      • Perbuatan hukum lain misalnya memperpanjang hak atas tanah tanpa adanya perubahan nama, contoh: Perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB), yang dilaksanakan baik sebelum maupun setelah berakhirnya HGB.
    • Orang pribadi atau badan karena wakaf, yaitu perbuatan orang pribadi atau badan yang memisahkan sebagian harta kekayaannya berupa hak milik tanah dan atau bangunan dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya tanpa imbalan apa pun.
    • Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
  • · TARIF, DASAR PENGENAAN, DAN CARA PENGHITUNGAN PAJAK
    • Tarif BPHTB adalah tarif tunggal yang ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
    • Dasar pengenaan pajak BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) sebagaimana diatur dalam Pasal 6:

TRANSAKSI PEROLEHAN DASAR PENGENAAN

  • jual beli
  • tukar-menukar
  • hibah
  • hibah wasiat
  • pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya
  • pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak
  • pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan hak
  • penggabungan, peleburan, dan pemekaran usaha,
  • hadiah

harga transaksi nilai pasar nilai pasar nilai pasar nilai pasar nilai pasar nilai pasar nilai pasar nilai pasar

  • penunjukan pembeli dalam lelang

harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang

  • · Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) kecuali penunjukan pembeli dalam lelang, jika tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.
  • Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPTKP) adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dikurangi dengan Nilai Perolehan Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan oleh Menteri Keuangan melalui Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat untuk setiap kabupaten/kota berdasarkan usulan dari Pemerintah Daerah yang bersangkutan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat paling lambat satu bulan sebelum tahun pajak dimulai, dengan mempertimbangkan perkembangan perekonomian regional (Peraturan Pemerintah No.113 Tahun 2000 dan KMK NO. 516/KMK.04/2000).
  • · Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan, menetapkan besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak secara regional dengan ketentuan:
    • perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan darah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/isteri. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling tinggi Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
    • untuk perolehan lainnya, NPOP-TKP paling tinggi Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupaiah)
  • · Besarnya pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak, yaitu sebagai berikut:
    • BPHTB = 5% x (NPOP – NPOPTKP)
  • BPHTB yang terutang atas perolehan karena waris, hibah wasiat, adalah 50% dari yang seharusnya terutang (PP Nomor 111 tahun 2000), terutang sejak tanggal pendaftaran peralihan hak ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
  • Untuk pemberian hak pengelolaan, pengenaan pajaknya diatur sebagai berikut (Peraturan Pemerintah Nomor 112 tahun 2000):
    • 0% (nol persen) dari BPHTB yang seharusnya terutang, dalam hal penerima Hak Pengelolaan adalah Departemen, Lembaga Pemerintah non Departemen, Pemerintah Daerah, lembaga pemerintah alinnya dan Perum Perumnas.
    • 50% (lima puluh persen) dari BPHTB yang seharusnya terutang, untuk penerima Hak Pengelolaan lainnya.
  • · SAAT DAN TEMPAT PAJAK TERUTANG
    • Saat terutang pajak atas perolehan atas tanah dan atau bangunan:
      • Sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris, meliputi: jual beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, hadiah.
      • Sejak tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
      • Sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dalam hal sudah keputusan hakim.
      • Sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan, meliputi: hibah wasiat dan waris.
      • Sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak, meliputi: pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak dan pemberian hak baru di luar pelepasan hak.
    • Tempat terutang pajak adalah di wilayah Kabupaten, Kota, atau Propinsi yang meliputi letak tanah dan atau bangunan.
  • · PEMBAYARAN PAJAK
    • Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak (self assesment system). Pajak yang terutang dibayar ke kas negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan di wilayah Kabupaten/Kota yang meliputi letak tanah dan atau bangunan. BPHTB yang terutang disetor dengan Surat Setoran BPHTB (SSB) dan dipindahbukukan saldo penerimaan BPHTB ke Bank Operasional V BPHTB.
    • Kewajiban membayar sebagaimana tersebut di atas dilaksanakan sebelum:
      • Akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan ditandatangani oleh PPAT/Notaris.
      • Risalah Lelang untuk pembeli ditandatangani oleh Pejabat Lelang.
      • Dilakukan pendaftaran hak oleh Kepala Kantor Pertanahan, dalam hal:
        • Pemberian hak baru;
        • Pemindahan hak karena pelaksanaan putusan hakim, hibah wasiat atau waris.
  • · Fungsi SSB antara lain adalah:
      • Digunakan untuk melakukan pembayaran/penyetoran BPHTB yang terutang,
      • Sekaligus digunakan untuk melaporkan data perolehan hak atas tanah dan atau bangunan,
      • Sebagai Surat Pemberitahuan Objek Pajak Bumi dan Bangunan (SPOP PBB).
  • Penyampaian SSB sebagaimana tersebut di atas dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal pembayaran atau perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
  • · PENETAPAN PAJAK
    • Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kerang Bayar apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang kurang bayar.
    • Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Keputusan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB) ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung mulai saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar.
    • Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT) apabila ditemukan data baru atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah diterbitkannya Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar.
    • Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKBT ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut, kecuali Wajib Pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.
  • · PENAGIHAN PAJAK
    • Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (STB), apabila:
      • pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
      • dari hasil pemeriksaan kantor Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung;
      • Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi dan atau bunga.
      • Sanksi administrasi dikenakan berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya pajak.
    • Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak, sehingga penagihannya dapat dilanjutkan dengan penerbitan Surat Paksa. Dasar penagihan pajak meliputi Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan maupun Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah. Jangka waktu pelunasan pajak yang harus dibayar tersebut adalah paling lama 1 (satu) bulan sejak diterima Wajib Pajak.
    • Jumlah pajak yang terutang berdasarkan hal di atas, apabila tidak atau kurang dibayar pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa, yaitu surat perintah membayar pajak dan tagihan yang berkaitan dengan pajak sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku (UU NO. 19 tahun 2000).
  • · PENGURANGAN
  • Sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 87/KMK.03/2002 tentang PeWajib Pajak dapat mengajukan pengurangan BPHTB kepada Kepala Kantor PBB, Kepala Kanwil Ditjen Pajak, Dirjen Pajak atas nama Menteri Keuangan RI dalam hal :
  • a. Kondisi tertentu wajib pajak yang ada hubungannya dengan objek pajak, yaitu :
    • 1. Wajib pajak Orang Pribadi (OP) yang memperoleh hak baru mellaui program pemerintah di bidang pertanahan dan tidak mempunyai kemampuan secara ekonomis; (75 %)
    • 2. Wajib pajak Badan yang memperoleh hak baru baru selain Hak Pengelolaan dan telah menguasai tanah dan atau bangunan secara fisik lebih dari 20 tahun yang dibuktikan dengan surat pernyataan wajib pajak dan keterangan dari pejabat Pemda setempat; (50%)
    • 3. Wajib pajak OP yang mmperoleh hak atas tanah dan atau bangunan Rumah Sederhana (RS) dan Rumah Susun Sederhana serta RSS yang diperoleh dari pengembang dan dibayar secara angsuran ; (25 %)
    • 4. Wajib pajak OP yang menerima hibah hibah dari orang pribadi yang mempunyai hubungan kelurga sedarah dalam garis lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah; (50%)
  • · Kondisi wajib pajak yang ada hubunganya dengan sebab-sebab tertentu:
    • 1. WP yang memperoleh hak atas tanah melalui pembelian dari hasil ganti rugi pemerintah yang nilai ganti ruginya di bawah NJOP; (50%)
    • 2.WP yang memperoleh hak atas tanah sebagai pengganti atas tanah yang dibebaskan oleh pemerintah untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus; (50%)
    • 3.WP Badan yang terkena dampak krisis ekonomi dan moneter yang berdampak luas pada kehidupan perekonomian nasional sehingga WP harus melakukan restrukturisasi usaha dan atau utang usaha sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah; (75 %)
    • 4.WP Bank Mandiri yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan yang berasal dari BBD, BDN, Bapindo dan Bank Exim dalam rangkaian proses penggabungan usaha (merger); (100 %)
    • 5.WP Badan yang melakukan penggabungan usaha (merger) atau peleburan usaha (konsolidasi) dengan atau tanpa terlebih dahulu mengadakan likuidasi dan telah memperoleh keputusan persetujuan penggunaan Nilai Buku dalam rangka penggabungan atau peleburan usaha dari Dirjen Pajak; (50%)
    • · 6. WP yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan yang tidak berfungsi lagi seperti semula disebabkan bencana alam atau sebab-sebab lainnya seperti kabakaran, banjir, tanah longsor, gempa bumi, gunung meletus, dan huru-hara yang terjadi dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak penandatanganan akta; (50%)
    • 7. WP Orang Pribadi Veteran, PNS, tni, polri, Pensiunan PNS, Purnawirawan TNI, Purnawirawan POLRI atau janda/dudanya yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan rumah dinas pemerintah. (75 %)
  • c. Tanah dan atau bangunan digunakan untuk kepentingan sosial atau pendidikan yang semata-mata tidak untuk mencari keuntungan antara lain untuk panti asuhan, panti jompo, rumah yatim piatu, sekolah yang tidak ditujukan mencari keuntungan, rumah sakit swasta milik institusi pelayanan sosial masyarakat. (50%)
  • · Kewenangan Memberikan Pengurangan BPHTB :
    • Kepala KP PBB atas nama Menkeu untuk huruf a, dan huruf b angka 1, 2, 6, 7 serta hurf c dalam hal pajak yang terutang setinggi-tingginya Rp 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah)
    • Kepala Kanwil Ditjen Pajak atas nama Menkeu untuk huruf a dan huruf b angka 1, 2, 6 , 7 serta huruf c dalam hal pajak yang terutang antara Rp 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah) sampai Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
    • Dirjen Pajak atas nama Menkeu, dalam hal objek BPHTB selain a dan b .
  • · KEBERATAN DAN BANDING
    • Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu:
    • Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB).
    • Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT).
    • Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar (SKBLB).
    • Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil (SKBN).
  • Syarat pengajuan keberatan:
    • diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia,
    • mengemukakan jumlah pajak yang terutang menurut perhitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang jelas dengan mengemukakan data atau bukti
    • · bahwa jumlah pajak yang terutang atau pajak lebih bayar yang ditetapkan oleh fiskus tidak benar.
    • diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya (dibuktikan dengan tanda terima dari DJP ataupun tanda pengiriman pos tercatat dari Kantor Pos) surat ketetapan kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya, misalnya sedang sakit atau kena musibah.
  • Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan tidak dianggap sebagai Surat Keberatan sehingga tidak dipertimbangkan. Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak. Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.
  • · Direktur Jenderal Pajak harus memberi keputusan atas keberatan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima atau meneruskan ke Kepala Kantor Wilayah DJP dalam jangka waktu 14 hari bila BPHTB yang terutang lebih dari Rp. 2.500.000.000,00. Sebelum surat keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis.
  • Keputusan Direktur Jenderal Pajak dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya jumlah pajak yang terutang. Jika tidak ada keputusan hingga jangka waktu tersebut lewat, keberatan dianggap dikabulan.
  • Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Pengadilan Pajak terhadap keputusan keberatan yang ditetapkan DJP.
  • Permohonan banding diajukan tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak keputusan kebertan diterima, dilampiri salinan surat keputusan tersebut. Permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.
  • Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pemabayaran .
  • · DASAR HUKUM
    • Peraturan Pemerintah Nomor : 48 tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan sebagaimana diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor : 79 tahun 1999.
    • Keputusan Menteri Keunagan RI Nomor : 566/KMK.04/1999 tentang Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan Yang Usaha Pokoknya Melakukan Transaksi Penjualan atau Pengalihan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan.
    • Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor : SE-55/PJ.42/1999 tentang Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan Yang Usaha Pokoknya Melakukan Transaksi Penjualan atau Pengalihan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan.
  • · OBJEK PAJAK
  • Yang menjadi objek pajak Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah :
    • penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan wajib dibayar Pajak Penghasilan.
    • Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut berupa :
    • penjualan, tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah; (selanjutnya disebut 2a)
    • penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain yang disepakati dengan pemerintah guna pelaksanaan pembangunan, termasuk pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus; (selanjutnya disebut 2b)
    • penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain kepada pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus. (selanjutnya disebut 2c)
  • · SUBJEK PAJAK
    • Yang menjadi subjek pajak Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud di atas
  • PEMBAYARAN
    • Wajib Pajak harus membayar sendiri Pajak Penghasilan Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro sebelum akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang. ( selanjutnya disebut No.4 )
  • · PEJABAT BERWENANG
    • Pejabat yang berwenang hanya menandatangani akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan apabila kepadanya dibuktikan oleh orang pribadi atau badan dimaksud bahwa kewajiban Pajak Penghasilan Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan telah dipenuhi. Caranya, Wajib Pajak menyerahkan fotokopi Surat Setoran Pajak yang bersangkutan dengan menunjukkan aslinya.
    • Pejabat yang berwenang menandatangani akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang wajib selanjutnya menyampaikan laporan bulanan mengenai penerbitan akta, keputusan perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada Direktur Jenderal Pajak.
  • · Yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang adalah Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah, Camat, Pejabat Lelang, atau pejabat lain yang diberi wewenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  • Pejabat yang berwenang menandatangani akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang yang tidak memenuhi ketentuan dimaksud, dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.
  • Badan Pertanahan Nasional hanya mengeluarkan surat keputusan pemberian hak, pengakuan hak dan peralihan hak atas tanah, apabila permohonannya dilengkapi dengan Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud, kecuali permohonan sehubungan dengan ketentuan Pengecualian Pembayaran Pajak Penghasilan atas Subjek pajak yang ditunjuk.
  • · PEMUNGUTAN PPh
    • Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dipungut Pajak Penghasilan oleh bendaharawan atau pejabat yang melakukan pembayaran atau pejabat yang menyetujui tukar-menukar.
    • Bendaharawan atau pejabat tersebut selanjutnya wajib menyetor Pajak Penghasilan yang telah dipungutnya itu ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro sebelum melakukan pembayaran kepada orang pribadi atau badan yang berhak menerimanya atau sebelum tukar-menukar dilaksanakan.
    • Penyetoran pajak tersebut dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atas nama orang pribadi atau badan yang menerima pembayaran atau yang melakukan tukar-menukar.
    • Bendaharawan atau pejabat dimaksud wajib menyampaikan laporan mengenai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada Direktur Jenderal Pajak.
  • · TARIF PAJAK PENGHASILAN (PPh)
    • Besarnya Pajak Penghasilan Pengalihan Hak Atas Tanah dan/Bangunan adalah 5% (lima per seratus) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
  • DASAR PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN (PPh)
    • Dasar Pengenaan atau Nilai pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994, kecuali:
      • Dalam hal pengalihan hak kepada pemerintah adalah nilai berdasarkan keputusan pejabat yang bersangkutan;
      • Dalam hal pengalihan hak sesuai dengan peraturan lelang (Staatsblad Tahun 1908 nomor 189 dengan segala perubahannya) adalah nilai menurut risalah lelang tersebut.
    • Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang dimaksud adalah Nilai Jual Objek Pajak menurut Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan tahun yang bersangkutan, atau dalam hal Surat Pemberitahuan Pajak Terutang dimaksud belum terbit, adalah Nilai Jual Objek Pajak Terutang tahun pajak sebelumnya.
    • Apabila tanah dan/atau bangunan tersebut belum terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, maka Nilai Jual Objek Pajak yang dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak menurut surat keterangan yang diterbitkan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang wilayah wewenangnya meliputi tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan.
  • · PENGECUALIAN PEMBAYARAN PPh - No. 4
    • Dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana No.4 adalah :
    • Orang pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam 2a dan 2b yang jumlah brutonya kurang dari Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah;
    • Orang pribadi yang menerima atau memproleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah sebagaimana dimaksud dalam 2c ;
    • Orang pribadi atau badan yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan sehubungan dengan hibah yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam keturunan lurus satu derajat, dan kepada badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
    • Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sehubungan dengan warisan;
  • · PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN DAN KOPERASI
    • Wajib Pajak badan termasuk koperasi yang usaha pokoknya melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Pengenaan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan dan Koperasi ini berdasarkan ketentuan umum Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 17 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000.
  • PPH FINAL
    • Bagi Wajib Pajak orang pribadi, yayasan atau organisasi yang sejenis, yang usaha pokoknya melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah bersifat final .
    • Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang jumlah penghasilannya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), apabila melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang jumlah brutonya kurang dari Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah), penghasilan yang diperoleh dari penghasilan tersebut merupakan objek Pajak Penghasilan, dan Pajak Penghasilan terutang yang bersifat final sebesar 5% (lima per seratus) dari jumlah bruto nilai pengalihan, wajib dibayar sendiri oleh Wajib Pajak Final sebelum akhir tahun pajak yang bersangkutan, kecuali penghasilan yang diperoleh dari pengalihan sebagaimana dimaksud pada 2C.
  • · Contoh :
  • 1. Wajib Pajak Orang Pribadi
  • Rudi Hartono menjual rumah dan tanahnya yang berada di Jl Pondok Rangun kepada Alan Budi Kusuma dengan harga Rp 50 juta. Rudi Hartono adalah seorang Wajib Pajak yang tiap tahunnya di atas PTKP. Maka perhitungan Pajak Pengasilan-nya sebagai berikut :
  • Rp 50 juta x 5% : Rp 2,5 juta .
  • 2. Wajib Pajak Badan yang usaha pokoknya tidak melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
  • PT Indonesia Makmur adalah perusahaan pembuat raket bulu tangkis. Pada tanggal 3 Juli 2001 perusahaan ini menjual tanahnya di Bekasi yang luasnya 500 M2 kepada PT Indonesia Jaya dengan harga Rp 75 juta. Maka perhitungan Pajak Penghasilannya sebagai berikut :
  • Rp 75 juta x 5% : Rp 3,75 juta .
  • · Wajib Pajak Badan yang usaha pokoknya melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
  • Masa Pajak Januari 2000
  • - Penghasilan Netto bulan Januari 2000 = Rp 6.000.000,00
  • - disetahunkan Rp 6.000.000,00 x 12 = Rp 72.000.000,00
    • PPh terutang
  • * 10 % x Rp 25.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
  • * 15 % x Rp 25.000.000,00 = Rp 3.750.000,00
  • * 30 % x Rp 22.000.000,00 = Rp 6.600.000,00
  • = Rp 12.000.000,00
  • Besarnya angsuran Pajak Penghasilan (PPh) pasal 25 untuk bulan Januari 2000 adalah 1/12 x Rp 12.850.000,00 = Rp. 1.070.833,00
  • KETERANGAN :
  • Atas penghasilan yang telah diterima dan biaya-biaya yang telah terjadi sebelum tanggal 1 Januari 2000 yang telah dikenakan Pajak Penghasilan Final maka tidak diperhitungkan lagi dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan yang termasuk tahun buku yang meliputi tanggal 1 Januari 2000 dan tahun-tahun pajak sesudah tahun 2000.
  • Contoh :
  • - Penjualan tahun 2000 (menurut pembukuan komersial WP) = Rp 72.000.000,00
  • - Uang muka/cicilan telah terkena PPh Final tahun 1999 = (Rp12.000.000,00)
  • - Penjualan yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh 2000 = Rp 60.000.000,00
  • · DASAR HUKUM
    • Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 1996 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Persewaan Tanah dan atau Bangunan sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 2002.
    • Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 394/KMK.04/1996 tentang Pelaksanaan Pembayaran dan Pemotongan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Persewaan Tanah dan atau Bangunan sebagaimana diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 120/KMK.03/2002
    • Keputusan Dirjen Pajak Nomor : KEP-227/PJ/2002 tentang Tata Cara Pemotongan dan Pembayaran, Serta Pelaporan Pajak Penghasilan Dari Dari Persewaan Tanah dan atau Bangunan
  • · OBJEK PAJAK
    • Yang menjadi objek pajak Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan adalah tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, gedung pertokoan, atau gedung pertemuan termasuk bagiannya, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan bangunan industri.
  • SUBJEK PAJAK
    • Yang menjadi subjek pajak Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh penghasilan dari menyewakan tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud di atas
  • PEMBAYARAN DAN TARIF
    • Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan dari wajib pajak Badan maupun orang pribadi bersifat final sebesar 10 % (sepuluh persen) dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan atau bangunan.
  • · JUMLAH BRUTO
    • Jumlah bruto nilai persewaan adalah semua jumlah yang dibayarkan atau terutang oleh pihak yang menyewa dengan nama dan dalam bentuk apapun yang berkaitan dengan tanah dan/atau bangunan yang disewa, termasuk biaya perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanan dan servive charge baik yang perjainjiannya dibuat secara terpisah maupun yang disatukan dengan perjanjian persewaan yang bersangkutan.
  • TATA CARA PELUNASAN
    • Pemotongan oleh penyewa dalam hal penyewa adalah Badan Pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, kerjasama operasi, perwakilan perusahaan luar negeri lainnya, dan orang pribadi yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak;
    • Penyetoran sendiri oleh yang menyewakan dalam hal penyewa adalah orang pribadi atau bukan Subjek Pajak, selain yang tersebut pada ayat 1.
  • · KONTRAK DAN PEMBAYARAN
    • Dalam hal kontrak atau perjanjian sewa ditandatangani sebelum bulan Mei 2002 dan pelaksanaannya sebelum Mei 2002, maka atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Badan dari persewaan tanah dan atau bangunan dikenakan tarif sebesar 6 % (enam persen) dari jumlah bruto nilai sewa;
    • Dalam hal kontrak atau perjanjian sewa ditandatangani sebelum bulan Mei 2002, tetapi pelaksanaannya setelah April 2002, maka atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Badan dari persewaan tanah dan atau bangunan dikenakan tarif sebesar 10 % (sepuluh persen) dari jumlah bruto nilai sewa;
    • Dalam hal kontrak atau perjanjian sewa ditandatangani tetapi pelaksanaannya setelah April 2002, maka atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Badan dari persewaan tanah dan atau bangunan dikenakan tarif sebesar 10 % (sepuluh persen) dari jumlah bruto nilai sewa;
  • · DASAR HUKUM
    • Pasal 16 C UU Pajak Pertambahan Nilai 1984
    • Keputusan Menkeu Nomor : 554/KMK.04/2002 jo Keputusan Menkeu Nomor : 320/KMK.03/2002 tanggal 28 Juni 2002.
    • Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor : SE-07/PJ. 53/1995 tanggal 17 Maret 1995 (seri PPN 6-95)
  • · MEKANISME
    • 1. Suatu kegiatan membangun sendiri dikenakan PPN apabila memenuhi syarat :
      • a. dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan;
      • b. yang dibangun adalah bangunan untuk tempat tinggal tidak termasuk fasilitas penunjang, tetapi kalau untuk tempat usaha termasuk semua fasilitas penunjang.
      • c. luas bangunan 400 M2 atau lebih, untuk kegiatan yang dilakukan mulai 1 Juli 2002 luas bangunan 200 M2 atau lebih.
      • d. bangunan bersifat permanen, artinya konstruksi utama bangunan tahan sampai dengan 25 tahun atau lebih.
      • e. permulaan kegiatan membangun sendiri setelah 1 Januari 1995.
    • 2.Kegiatan pembangunan yang dilakukan secara bertahap, sepanjang tidak lebih dari 2 tahun, diperlakukan sebagai satu kesatuan kegiatan.
    • 3. Dalam hal kegiatan pembangunan dilakukan untuk kepentingan pihak lain, maka SSP-nya harus diserahkan kepada pihak yang berkepentingan karena tanggung jawab pembayaran berada di tangan pihak yang memanfaatkan;
  • · 4. Saat pajak terutang adalah pada saat kegiatan mulai dilakukan pada atau sesudah 1 Januari 1995.
  • 5.Tempat pajak terutang adalah di tempat bangunan didirikan
  • 6. Dasar pengenaan pajak adalah 40 % dari seluruh pengeluaran (termasuk PPN) pada bulan yang bersangkutan, sehingga PPN yang terutang dihitung dengan perkalian 10 % x 40 % x jumlah seluruh pengeluaran dalam satu bulan;
  • 7 .Pajak yang terutang dibayar ke Bank Persepsi selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya.
  • · 8. Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-01/PJ.32/1997 tanggal 5 Juni 1997 ditegaskan perlakuan PPN atas kegiatan membangun sendiri di dalam kawasan real estate yang dilakukan oleh pemilik kavling yang diperoleh setelah 1 Januari 1995, sebagai berikut :
    • a.Kegiatan membangun sendiri oleh pemilik kavling tersebut diperlakukan sebagai dibangun oleh real estate;
    • b. DPP-nya sebesar nilai bangunan (tidak termasuk harga tanah) yang dihitung oleh PKP real estate seandainya rumah tersebut dibangun oleh PKP real estate.
    • c. Seluruh biaya yang dikeluarkan oleh pemilik kavling tiap bulan dilaporkan kepada PKP real estate yang berkewajiban untuk memungut PPN yang terutang, kemudian menyetor dan melaporkan dalam SPT Masa PPN pada bulan yang bersangkutan;
    • d. Dalam hal bangunan sudah selesai, real estate terkait menentukan nilai bangunan rumah tersebut sesuai dengan patokan harga yang berlaku. Apabila nilainya lebih besar dari pada perhitungan real estate, maka selisihnya harus dipungut PPN kemudian disetor dan dilaporkan dalam SPT Masa PPN real estate yang bersangkutan. Apabila nilai tersebut lebih kecil maka selisihnya tidak dapat direstitusi.
    • e. Pajak Masukan atas perolehan BKP yang digunakan untuk membangun rumah tersebut tidak dapat dikreditkan.
  • · Contoh Kasus :
    • PAIDIN adalah Direksi sebuah perusahaan. Pada tanggal 31 Desember 1994 mulai melakukan pembangunan rumah dengan luas seluruhnya 410 M2 yang dilakukan oleh tukang batu dan diawasi sendiri. Kegiatan ini memenuhi kriteria membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan PAIDIN. Bangunan selesai dikerjakan dan siap untuk ditempati pada tanggal 31 Juni 1995. Karena kegiatan membangun sendiri rumah tinggal tersebut dilakukan oleh Paidin sebelum 1 Januari 1995, yang berarti bahwa Pasal 16 C UU PPN 1984 belum berlaku, maka tidak dikenakan PPN.
    • PT WANGUN BODI adalah sebuah perusahaan karoseri yang sudah dikukuhkan sebagai PKP sejak 20 Maret 1996. Pada tanggal 2 Januari 2001 mulai melakukan kegiatan membangun gedung untuk tanbahan gudang dan kantor administrasi untuk kegiatan manajemen. Luas seluruh bangunan 650 M2. Kegiatan ini tidak diserahkan kepada pemborong melainkan dilakukan oleh tukang batu dan tukang kayu yang dibayar harian dan diawasi sendiri. Dalam bulan Januari 2001 telah dikeluarkan sejumlah Rp 40 juta untuk pembelian bahan bangunan dan ongkos tukang. Atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan PT WANGUN BODI sebagai perusahaan karoseri ini dkenakan PPN. Adapun PPN yang terutang untuk Masa Pajak Januari 2001 dan wajib dibayar ke Kas Negara melalui Bank Persepsi selambat-lambatnya tanggal 15 Pebruari 2001 adalah : 10% x 40% x Rp 40 juta : Rp 1,6 juta. Pembayaran ini dilaporkan oleh PT WANGUN BD dalam SPT Masa PPN Masa Pajak Januari 2001, formulir 1195 kode I.1.
  • · Yayasan ‘SLAMET’ mengelola sebuah rumah sakit ‘WARAS-WARAS’. Pada tanggal 20 Juli 2001 mulai membangun gedung untuk garasi mobi ambulan dengan luas 500 M2. Pelaksanaannya dilakukan oleh tukang batu dan tykang kayu serta diawasi sendiri oleh direktorat teknis yayasan. Dalam bulan Juli 2001 telah dikeluarkan biaya sebesar Rp 10 juta. Kegiatan ini jelas dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan yayasan ‘SLAMET’. Oleh karena itu dikenakan PPN berdasar pasal 16C UU PPN 1984. PPN yang terutang untuk Masa Pajak Juli 2001 adalah : 10% x 40% x Rp 10 juta : Rp 400 ribu. Pajak ini harus disetor ke Kas Negara melalui Bank Persepsi selambat-lambatnya tanggal 15 Agustus 2001, kemudian lembar ketiga dari SSP diserahkan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat sebagai laporan. Laporannya tidak menggunakan SPT Masa PPN, karena yayasan ‘SLAMET’ bukan PKP, melainkan menggunakan SSP lembar ketiga dikirimkan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang di wilayahnya terletak bangunan yang sedang didirikan.
  • · MEKANISME PENGENAAN PPN ATAS PENYERAHAN RUMAH MURAH
  • Pengertian Umum
  • Berkenaan dengan penyerahan rumah murah, dalam Keputusan Presiden Nomor : 18 Tahun 1986 jo Keputusan Presiden Nomor : 37 Tahun 1998 diatur beberapa hal sebagai berikut :
    • Dalam pasal 2 diatur bahwa penyerahan rumah murah, rumag sederhana, pondok boro, asrama mahasiswa dan pelajar serta perumahan lainnya yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah mendengar Menteri Negara Urusan Perumahan Rakyat.
  • · Dalam pasal 3 diatur bahwa :
    • a).Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan Jasa Kena Pajak dari Kontraktor kepada Perum Perumnas untuk pemborongan pembangunan rumah tersebut dalam pasal 2 angka 2, ditanggung pemerintah;
    • b). Pajak Pertambahan Nilai .yang terutang atas penyerahan Jasa Kena Pajak oleh Kontraktor dalam rangka pembangunan tempat-tempat yang semata-mata untuk keperluan ibadah, ditanggung oleh Pemerintah. Ketentuan ini mulai berlaku tanggal 6 Pebruari 1995.
  • · Perkembangan terakhir tentang PPN .yang terutang ditanggung oleh Pemerintah atas penyerahan rumah murah telah dituangkan dalam Surat Edran Dirjen Pajak Nomor : SE-20/PJ.51/1997 tanggal 18 Agustus 1997 yang secara garis besarnya adalah sebagai berikut :
    • Yang dimaksud rumah murah sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Nomor : 18 Tahun 1986 jo Presiden Nomor : 22 Tahun 19997 (baca : Keputusan Presiden Nomor : 37 Tahun 1998) adalah :
      • a).Rumah tipe KPR 70 ke bawah yang meliputi : Rumah Sederhana, Rumah Susun Sederhana.
      • b). Rumah susun sederhana yaitu Rumah Susun sederhana yang berlantai 4 (empat) sampai 8 (delapan) lantai dengan luas bangunan maksimum 54 M2.
      • c).Termasuk pengertian rumahn murah selain rumah tipe BTN / KPR 70 ke bawah adalah : Pondok Boro (Pondok Karyawan), Asrama Mahasiswa, Sarana ibadah, ibadah dan kepentingan social serta rumah beserta workshop dalam rangka Transmigrasi Swakarsa.
    • Pembangunan Rumah murah dapat dilakukan oleh Perum Perumnas atau pengembang lainnya.
    • Atas penyerahan Jasa Kena Pajak untuk pembangunan rumah murah yang dilakukan pemborong, PPN yang terutang ditanggung oleh Pemerintah.
    • Apabila terdapat kelebihan tanah pada suatu rumah murah, sepanjang luas tanah seluruhnya tidak melebihi standar luas tanah rumah murah tipe KPR/BTN 70 ke bawah, maka PPN atas kelebihan tanah tersebut tetap ditanggung pemerintah. Tetapi apabila kelebihan tanah tersebut dibayar tunai, maka PPN-nya tidak ditangung pemerintah.
  • · KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR : 524 /KMK.03/2001 TANGGAL 1 OKTOBER jo KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR : 248 / KMK.03/2002 TANGGAL 21 MEI 2002.
  • Dalam pasal 1 Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 524/KMK.03/2001 tanggal 1 Oktober 2001 jo Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 248/KMK.03/2002 tanggal 21 Mei 2002 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Juni 2002 dirumuskan beberapa pengertian rumah yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN, yaitu sebagai berikut :
  • a). Rumah Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana adalah rumah dengan tipe T-21, T-27, T-36 yang perolehannya dibiayai fasilitas kredit kepemilikan bersubsidi maupun tidak bersubsidi dengan harga jual tidak melebihi batasan maksimum harga Rumah Sederhana T-36 sesuai dengan Keputusan Menteri Pemukiman Dan Prasarana Wilayah Nomor 139/KPTS/M/2002.
  • b). Rumah Susun Sederhana adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang dipergunakan sebgaai tempat hunian dengan luas maksimum 21 M2 (dua puluh satu meter persegi) setiap unit hunian, dilengkapi dengan KM/WC serta dapur, dapat bersatu dengan unit hunian atau terpisah dengan penggunaan komunal, dan diperuntukkan bagi golongan masyarakat berpenghasilan rendah yang pembangunannya mengacu pada Permen Nomor: 60/PRT/1992 tentang Persyaratan Teknis Pembangunan Rumah Susun.
  • · C). Pondok Boro adalah bangunan sederhana yang dibangun dan dibiayai oleh perorangan atau Koperasi Buruh atau Koperasi Karyawan yang diperuntukkan bagi para buruh tidak tetap atau para pekerja sector informal berpenghasilan rendah dengan biaya sewa yang disepakati, dapat berupa bangunan gedung bertingkat atau tidak bertingkat.
  • d). Asrama Mahasiswa dan pelajar adalah bangunan sederhana yang dibangun dan dibiayai oleh universitas atau sekolah, perorangan dan atau pemerintah daerah yang diperuntukkan khusus utnuk pemondokan pelajar atau mahasiswa, dapat berupa bangunan gedung bertingkat atau tidak bertingkat.
  • e). Perumahan lainnya adalah Rumah Pekerja, yaitu tempat hunian yang dibangun dan dibiayai oleh suatu perusahaan, diperuntukkan bagi karyawannya sendiri dan bersifat tidak komersil, dapat berupa bangunan gedung bertingkat atau tidak bertingkat, yang persyaratan teknisnya memenuhi ketentuan tersebut dalam huruf a dan huruf b.
  • · Penyerahan Rumah Sederhana atau Sangat Sederhana melalui penjualan tunai dan melalui cicilan bertahap yang disediakan oleh pengembang (bukan melalui fasilitas kredit pemilikan bersubsidi), PPN yang terutang tidak dibebaskan melainkan wajib dipu n gut oleh pengemba n g yang bersangkutan.
  • · PENYERAHAN RUMAH/TANAH SIAP BANGUN
    • Sebelum 1 Januari, penghitungan PPN yang terutang atas penyerahan rumah dan/atau tanah matang oleh perusahaan real estate dihitung tidak berdasarkan Harga Jual yang sebenarnya. Dalam penetapan Dasar Pengenaan Pajak bagi perusahaan real estat ikut dipertimbangkan pula kewajiban yang harus dipenuhi untuk membangun sarana lingkungan seperti jalan lingkungan, taman, sanitasi dan sarana untuk kepentingan umum/sosial lainnya.
    • Biaya untuk pembangunan fasilitas umum dan fasilitas social ini, oleh pengusaha dialokasikan secara proporsional dalam Harga Jual Rumah/bangunan atau tanah matang, yang diperkirakan besarnya adalah 20 % dari Harga Jual tanah matang. Bagian dari harga jual yang merupakan bagian dari biaya pembuatan fasilitas umujm dan fasilitas social, dimaksudkan tidak dikenakan PPN lagi.
    • Dalam surat Dirjen Nomor : S-1376/PJ.3/1986 tanggal 16 Mi 1986 yang ditujukan kepada DPP REI, yang merupakan penyempurnaan terhdap SE Dirjen Pajak Nomor : SE-55/PJ.3/1985 tanggal 20 Agustus 1995 (seri PPN-60), ditegaskan bahwa untuk penyerahan Barang Kena Pajak berupa bangunan dan atau tanah matang yang dilakukan oleh pengusaha real estat, Dasar pengenaan Pajaknya ditentukan sebagai berikut :
  • · Untuk penyerahan tanah matang saja, Dasar Pengenaan Pajaknya dihitung dari Harga Jual tanah matang dikurangi 20 %.
  • Untuk penyerahan bangunan besrta tanahnya, Dasar Pengenaan Pajaknya dihitung dari Harga Jual Bangunan beserta tanahnya, dikurangi dengan 20 % dari harga jual tanah matang.
  • Contoh :
  • Sebuah perusahaan real estat di samping menyerahkan bangunan, menyerahkan juga kapling siap bangun. Harga jual kapling siap bangun Rp 100 juta. Dasar Pengenaan Pajaknya dihitung dengan pola sebagai berikut :
  • - Harga Pembebasan tanah : Rp 40.000.000,00
  • - Biaya Pematangan : Rp 25.000.000,00
  • - Biaya lain-lain : Rp 15.000.000,00
  • - Margin Laba : Rp 20.000.000,00
  • - Harga Jual Tanah Matang : Rp 100.000.000,00
  • -/- 20% x Rp 100.000.000,00 : Rp 20.000.000,00
  • - Dasar Pengenaan Pajak : Rp 80.000.000,00
  • · Pada suatu ketika perusahaan ini menyerahkan sebuah bangunan dengan luas tanah yang sama, Harga Jual Rp 300 juta. Dasar Pengenaan Pajak dapat dihitung sebagai berikut :
  • - Harga Pembebasan tanah : Rp 40.000.000,00
  • - Biaya Pematangan : Rp 25.000.000,00
  • - Biaya pembuatan bnagunan : Rp 150.000.000,00
        • Biaya lain-lain sehubungan dengan :
  • * tanah : Rp 15.000.000,00
  • * bangunan : Rp 20.000.000,00
  • : Rp 35.000.000,00
  • - Margin Laba :
  • * tanah : Rp 20.000.000,00
  • * bangunan : Rp 30.000.000,00
  • : Rp 50.000.000,00
  • - Harga Jual Seluruhnya : Rp 300.000.000,00
  • -/- 20% x Rp 100.000.000,00 : Rp 20.000.000,00
  • - Dasar Pengenaan Pajak :Rp 180.000.000,00
  • · Pada tanggal 21 Mei 2002 diterbitkan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor : SE-22/PJ.51/2002 tentang Pengenaan PPN atas Penyerahan Tanah dan atau Bangunan oleh Perusahaan real estat dan Industrial estat, yang mulai berlaku 1 Juni 2002. Surat Edar a n ini mencabut berlakunya Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor : SE-55/PJ.3/1985 tanggal 20 Agustus 1985 dan Surat Dirjen Pajak Nomor : S-1376/PJ.3/1986 tanggal 16 Mei 1986. Dengan demikian atas penyerahan rumah dan atau tanah oleh perusahaan real estat atau industrial estat yang dilakukan sejak 1 Juni 2002, PPN yang terutang dihitung dari Harga Jual tanpa terebih dahulu dikurangi 20 % dari harga jual tanah setelah dimatangkan.
  • Ketentuan yang baru ini tidak mempengaruhi penghitungan PPN atas penyerahan rumah dan atau tanah yang dilakukan oleh perusahaan real estat dan industrial estat yang dilakukan sebelum 1 Juni 2002. Dengan demikian tidak perlu disesuaikan dengan kebijakan baru yang dituangkan dalam Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE-22/PJ.51/2002 tersebut. Dalam hal pembayarannya dilakukan secara angsuran, sisa angsuran yang masih dibayar sesudah 1 Juni 2002 tidak terpengaruh oleh perubahan kebijakan ini.
  • · Latar belakang : Pemerintah/BUMN atau swasta memiliki tanah dan atau bangunan yang strategis (bernilai ekonomis) sebagai sarana untuk menjalankan usaha, namun disisi lain tidak memiliki dana cukup, sehingga pembangunannya bisa diserakan kepada pihak lain (developer);
  • Pengertian : Bentuk perjanjian kerjasama pemanfaatan tanah dan atau bangunan milik/ kekayaan negara, perorangan atau badan hukum dengan pihak lain;
  • Dasar hukum : Perjanjian kerjasama dilandasi asas kebebasan berkontrak, dengan prinsip :
    • Kesepakatan untuk saling mengikatkan diri dalam suatu perjanjian;
    • Perjanjian dibuat secara sah mengikat sebagai uu dan wajib mematuhi dengan itikad baik;
    • Tidak dapat ditarik kembali selain dengan persetujuan kedua pihak atau karena uu;
  • Bentuk kerjasama penggunausahaan ; BOT, BTO, BOO, BT, KSO
  • · pemanfaatan tanah dan atau bangunan miliki/dikuasai Pemerintah oleh Pihak ketiga dengan cara Pihak Ketiga membangun bangunan siap pakai dan atau menyediakan, menambah sarana lain berikut fasilitas di atas tanah dan atau bangunan tersebut dan mendayagunakannya selama jangka waktu tertentu untuk kemudian setelah jangka waktu tertentu berakhir menyerahkan kembali tanah dan bangunan dan atau sarana lain berikut fasilitasnya tersebut beserta pendayagunaannya kepada Pemerintah, serta membayar kontribusi sejumlah uang atas pemanfaatannya yang besarnya ditetapkan sesuai dengan kesepakatan;

Bangun Guna Serah Build-Operate-Transfer (BOT)

  • · Dalam jangka waktu tertentu diberi hak konsesi untuk mengelola bangunan yang dibangun guna diambil manfaat ekonomi;
  • Manfaat ekonomi ini dapat terbagi dalam prosentase tertentu untuk investor dan untuk pemilik sebagai sewa;
  • Setelah jangka waktu tertentu maka pengelolaan kembali kepada pemilik yang semula hanya memiliki lahan saja dan tidak diperbaharui lagi;
  • Developertidak mempunyai hubungan hukumlagi dengan bangunan;
  • Asas : pemanfaatan, kepastian hukum, kerjasama saling menguntungkan, dan musyawarah;
  • Contoh: Hotel, Pusat Perbelanjaan, Sarana Pariwisata, dll
  • · Bangun Guna Milik atau Build Operate Owned (BOO) adalah perikatan antara Pemerintah dengan Pihak Ketiga dilakukan dengan ketentuan :
    • Pemerintah mempunyai fasilitas (kewenangan) membangun infrastruktur;
    • Pemerintah memberikan kewenangan kepada Pihak Ketiga infrastruktur yang seharusnya disediakan oleh Pemerintah;
    • Pihak ketiga secara keseluruhan bertanggungjawab atas pembiayaan pembangunan, pengoperasian selama jangka waktu tertentu dan memiliki bangunan diatas tanah pihak lain;
    • Pemerintah memberikan persetujuan atas nilai jual yang ditetapkan oleh Pihak Ketiga dengan memberikan persetujuan atau pembayaran royalti setiap tahun berdasarkan keuntungan yang diperoleh;
  • · Kewenangan :
    • Mengelola, memanfaatkan, menyewakan sisa tanah yang belum dibangun;
    • Mengurus izin-izin untuk pengembangan dan pembangunan : pengesahan site plan, IMB, IPB,Amdal,etc;
    • Memakai bagian dari bangunan sebagai kantor atau keprluan lain;
    • Mengelola dan menyewakan bagian bangunan kepada pidak lain;
    • Selama masa perjanjian kerjasama bertindak mewakili pemilik tanah dalam berbagai urusan dan perbuatan serta tindakan yang berkaitan dengan pengelolaan;

Kewenangan, Hak dan Kewajiban Developer Dalam Perjanjian BOT/BOO

  • · Kewajiban :
    • Membayar PBB dan Pajak lainnya;
    • Selama masa perjanjian kerjasama pihak swasta bertanggungjawab atas pengelolaan, pengaturan dan penerimaan uang sewa gedung beserta fasilitasnya;
    • Setelah berakhirnya jangka waktu yang diperjanjikan, pihak developer wajib menyerahkan tanah dan bangunan kepada pemilik tanah dalam keadaan baik, utuh dan bebas dari segala tuntutan hukum atau pihak ketiga (jika BOT);
    • Setelah berakhirnya jangka waktu yang diperjanjikan pihak developer menjadi pemilik bangunan dan tidak mempunyai kewajiban untuk mengalihkan pada pemegang hak atas tanah;
  • · adalah pemanfaatan tanah dan atau bangunan mlik/dikuasai Pemerintah oleh Pihak Ketiga dengan cara pihak ketiga membangun bangunan siap pakai dan atau menyediakan, menambah sarana lain berikut fasilitas di atas tanah dan atau menyediakan, menambah sarana lian berikut failitas di atas tanah dan atau bangunan tersebut dan setelah selesai pembangunannya diserahkan kepada Pemerintah untuk kemudian oleh Pemerintah tanah dan bangunan siap dan atau sarana lain berikut fasilitasnya tersebut diserahkan kembali kepada Pihak Ketiga untuk didayagunakan selama jangka waktu tertentu, dan atas pemanfaatannya tersebut Pihak Ketiga dikenakan konstribusi sejumlah uang yang besarnya ditetapkan sesuai dengan kesepakatan;

Bangun Serah Guna Build-Transfer-Operate (BTO)

  • · Bangun Serah atau Build and Transfer (BT)
  • adalah Perikatan antara Pemerintah dengan Pihak Ketiga dengan ketentuan:
    • tanah milik pemerintah;
    • Pihak Ketiga membangun dan membiayai sampai dengan selesai;
    • Setelah pembangunan selesai Pihak Ketiga menyerahkan kepada Pemerintah Daerah;
    • Pemerintah Daerah membayar biaya pembangunanya;
  • · Kerjasama Operasi (KSO) adalah perikatan antara Pemerintah dengan pihak ketiga dimana Pemerintah menyediakan tanah dan/atau bangunan, dan pihak ketiga menanamkan modal yang dimilikinya dalam salah satu usaha, selanjutnya kedua belah pihak secara bersama-sama atau bergantian mengelola manajemen dan proses operasionalnya, keuntungan dibagi sesuai dengan besarnya “share”/penyertaan masing-masing pihak.